Laman

Minggu, 05 Februari 2012

SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Dengan alasan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun sekitar 1960-an. Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System.
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan.

B. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Muladi, pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan.
Secara etimologis, ”sistem” mengandung arti terhimpun, bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan.
Sedangkan Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.
Untuk mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal justice sistem, di bawah ini kami ketengahkan beberapa pengertian sistem peradilan pidana, sebagai berikut :

1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai suatu pemahaman, baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.
2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel maupun hukum pidana formil. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

C. Komponen-komponen peradilan pidana
Sistem Peradilan Pidana biasa di identikan dengan komponen-komponen sebagai pelaksananya, dan di Indonesia dikenal 4 (empat) komponen peradilan pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Namun, dengan memperhatikan tujuan hukum pidana, pembuat undang-undang dan advokat juga mempunyai peran penting dalam sistem peradilan pidana yang mendasari bekerjanya komponen sistem peradilan pidana di atas mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 atau Kitab Undang-undang Hukum Acar Pidana.
Berikut ini kami paparkan dua dari empat komponen peradilan pidana mengenai tugas dan wewenangnya dalam melaksanakan peradilan pidana antara lain :
1. Kepolisian
Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut kepolisian mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan dalam peradilan pidana, kepolisian memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik yang secara umum diatur dalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 dan dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 5-7 KUHAP.
Sebelum berlakunya KUHAP, yaitu pada masa HIR, tugas untuk melakukan penyidikan diberikan kepada lembaga kejaksaan, polisi hanya sebatas sebagai pembantu jaksa menyidik, tetapi setelah berlaku KUHAP maka tugas dan wewenang Kejaksaan di Indonesia dalam hal penyidikan telah beralih ke pihak Kepolisian. Oleh karena itu, mengenai tugas dan kekuasaan dalam menangani penyidikan adalah menjadi tanggung jawab kepolisian, terutama dalam usaha mengungkap setiap tindak kejahatan mulai sejak awal hingga selesai terungkap berdasarkan penyelidikannya.

2. Kejaksaan
Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga kejaksaan merupakan bagian dari lembaga eksekutif yang tunduk kepada Presiden. Akan tetapi, apabila dilihat dari segi fungsinya, kejaksaan merupakan bagian dari lembaga yudikatif. Hal ini dapat diketahui dari redaksi Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD Negara RI 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Penegasan mengenai badan-badan peradilan lain diperjelas dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang.”
Sebagai subsistem peradilan pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dibidang pidana sebagaimana diatur Pasal 14 KUHAP, yaitu :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu ;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik ;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ;
d. membuat surat dakwaan ;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan ;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan ;
g. melakukan penuntutan ;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum ;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini ;
j. melaksanakan penetapan hakim.

D. Atribut Hukum
Peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), yaitu :
1. Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum adalah keputusan-keputusan dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otioritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum.
2. Atribut dengan Maksud untuk Diaplikasikan secara Universal (Attribut of Intention of Universal Aplication), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas tersebut dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.
3. Atribut Obligasio (Attribute of Obligatio), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut sepanjang mereka masih hidup.
4. Atribut Sanksi (Attribute of Sanction), yaitu keputusan-keputusan dari pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan penjatuhan sanksi-sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda, atau sanksi non fisik seperti dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan, dan lain - lain.
Dikemukakan oleh Hoebel (1954) “Konsep hukum yang menekankan atribut otoritas dan atribut sanksi itu untuk membedakan antara norma hukum dengan norma-norma lain yang juga mempunyai fungsi sebagai alat pengedalian masyarakat (social control)”. Basis peraturan hukum adalah norma-norma sosial, dan norma-norma sosial akan berubah menjadi norma hukum apabila setiap pelanggaran atas norma sosial tersebut secara reguler dijatuhi sanksi fisik (pidana) berdasarkan keputusan pemegang otoritas yang secara sosial diberi wewenang khusus untuk menjatuhkan sanksi tersebut. A social norm is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat or in fact, by the application of phisical force by an individual or group possesing the socially recognized previlege of so acting (Hoebel, 1954:28). Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa.

E. Kesimpulan
Sistem Peradilan Pidana lahir atas cita-cita agar terbentuknya kedamaian berdasarkan keadilan, dan untuk mendukung terciptanya hal itu dibutuhkan komponen-komponen yang diberikan kewenangan untuk menjalankan suatu peradilan pidana.
Dalam menjalankan kewenangannya, komponen-komponen dari peradilan pidana tersebut mengeluarkan keputusan-keputusan untuk melerai pertikaian ataupun sengketa antara satu individu terhadap individu atau kelompok yang lain. Keputusan daripada komponen itulah yang disebut dengan atribut hukum, yang muncul berdasarkan pertimbangan tegas berasaskan keadilan demi tujuan terciptanya kedamaian.
Read More >>