Laman

Senin, 10 Oktober 2016

INFO OTOMOTIF - PENGHAPUSAN BENSIN PREMIUM (ditargetkan tuntas akhir tahun 2017)

Tak ada lagi subsidi, bensin Premium kini tengah menjalani proses pengurangan hingga akhirnya dihapuskan. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Pemasaran PT Pertamina Persero, Ahmad Bambang. Bahwa BBM jenis dengan RON 88 tersebur secara gradual akan dihapus peredarannya.

"Targetnya akhir tahun 2017. Kalau sudah tinggal sedikit peminatnya. SPBU ada yang mau jual enggak? Nanti paling dijual kalengan. SPBU kalau sehari enggak ada 1 ton mana ada yang mau jual," uraiAhmadi Bambang, pada gelaran pameran otomotif beberapa waktu lalu.

Di sisi lain permintaan Premium pun saat ini sudah berkurang, semenjak adanya pertalite. "Nah sekaranh kita berhasil memindahkan 50 persen dari Premium ke Pertalite hingga akhir tahun ini. Targetnya 30 persen yang dicanangkan di awal sudah lewat, akhir tahun depan secara otomatis masyarakat enggak udah dipaksa untuk pakai Premium lagi," lanjut Bambang.

Penghapusan BBM Premium ini pun makin mengerucut, yang diungkap di sela diskusi publik yang digagas oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal bersama Kedutaan Besar Amerika Serikat (29/9).

Paling tidak secara parsila. DKI Jakarta akan menjadi pilot project penghapusan BBM Premium. "Untuk DKI Jakarta bisa dipasok secara parsial, masih memubgkinkan. Pada dasarnya kilang kita (Pertamina) memiliki fleksibilitas memproduksi berbagai varian produk," terang Ahmad Fathoni Mahmud, VP Strategic Plan and Business Development Pertamina Persero, (29/9).

Kebutuhan kendaraan pun saat ini mayoritas tak lagi kompatibel debgab BBM RON 88. "Standar emisi kendaraan bermotor di Indonesia sudah jetinggalan sekitar 30 tahub dibanding negara-negara maju. Mayoritas mobil, standard requirement-nya sufah di atas RON 88. Termasuk pula mobil-mobil produksi Indonesia yang dieksporbsudah menyesuaikanbemisi Euro 4, "sebut Kukuh Kumara, Sektretaris  Jenderal Gaikindo.

Sumber : Tabloid Otomotif edisi ke 20 XXVI 06 - 12 Oktober 2016, halaman 5.

Read More >>

Senin, 16 Mei 2016

Efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi e-Commerce

Undang-undang perlindungan konsumen adalah instrument hukum yang efektif melindungi konsumen, tetapi perlindungan tersebut terbatas sekali, karena undang-undangan ini hanya berlaku terhadap subjek hukum yang berdomisili dalam yuridiksi hukum Indonesia. Kenyataannya, liberalisasi perdagangan melahirkan konsekuensi berupa aktivitas bisnis yang dapat diselelnggarakan melalui komunikasi jarak jauh (distance communication), sehingga aktivitas bisnis semacam itu memugkinkan konsumen melakukan transaksi (electronic) dengan memanfaatkan teknologi seperti internet, telepon, dan fax.

Transaski elektronik jarak jauh (electronic distance selling) yang memanfaatkan teknologi komunikasi seperti internet, telepon dan fax terbukti menimbulkan masalah baru terkait dengan perlindungan hak dan kewajiban konsumen. Persoalan mulai muncul ketika konsumen melakukan pembelian barang atau jasa dari penjual yang berada di negara lain. Salah satu persoalan dirasakan paling sering muncul adalah tindakan curang dan penipuan. Tentu saja masih terdapat persoalan yang juga sering dihadapi konsumen seperti; (1) non-delivery of goods ordered; (2) long delivery delays; (3) slow reinburement deposit or amounts paid; (4) inadequate natur of good deliverd, dan lain sebagainya.

Indikasi-indikasi tersebut memperlihatkan bahwa perdagangan secara elektronik yang semakin marak dewasa ini selain memberikan peluang dan berbagai kemudahan di satu sisi, ternyata juga di sisi lain memberikan dampak negatif. Dampak negatif  yang terjadi antara lain berupa kemungkinan-kemungkinan kerugian konsumen secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, kerugian yang diakibatkan oleh perilaku penjual yang memang secara tidak bertanggung jawab merugikan konsumen. Kedua, kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga konsumen disesatkan dan kemudian dirugikan.

Persoalan-persoalan ini tidak dapat sepenuhnya diselesaikan oleh UUPK. Karena pasal 1 ayat (3) UUPK secara mengatakan bahwa:
Pelaku usaha adalah setiap orang persorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedududkan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia…..

Secara a contraroio dapat dikatakan bahwa pelaku usaha yang berdomisili di luar yuridiksi hukum negara Republik Indonesia tidak tunduk kepada undang-undang ini.

UUPK jelas kehilangan efektivitasnya tatkala berhadapan dengan persoalan pelanggaran hak konsumen (e-Commerce) oleh pelaku usaha yang berdomisili di negara asing. Untuk mengatasi persoalan itu langkah pertama yang penting adalah merujuk kepada UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Karena pasal 2 UU ITE secara eksplisit menyebutkan bahwa undang-undang ini berlaku untuk setiap perbuatan subjek hukum yang menimbulkan implikasi hukum di Indonesia. Oleh karena itu, undang-undang ini juga memberi kewenangan kepada para pihak untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya (pasal 18 ayat (2)). Akan tetapi, jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata internasional (pasal 18 ayat (3)).

Bertalian dengan itu. Brian Fitzgerald dkk dalam buku jurisdiction and the internet mengatakan bahwa sebelum konsumen mengikatkan diri pada perjanjian jual beli yang disajikan oleh palaku usaha atau supplier dalam website, pelaku usaha atau supplier bersama-sama konsumen harus mencantumkan pilihan hukum atas konstrak yang dibuatnya. Bahkan, pilihan hukum tersebut harus pula dapat menjamin implementasi perlindungan hak konsumen yang melakukan transaksi dengan pelaku usaha atau supplier. Akan tetapi, jika kontrak (internasional) tidak mencantumkan pilihan hukum, maka Fitzgerald menarik kesimpulan bahwa pengadilan akan menentukan alternatif hukum yang paling tepat untuk diterapkan kepada kontrak tersebut. Oleh karena itu, Fitzgerald mengatakan:

If a contract does not contain a governing law clause, the courts will determine wheteh, on a proper construction of the contract, th parties have avinced a common intention as to system of law by which the contract will be governed.

Fitzgerald menyatakan bahwa apabila para pihak tidak menetukan pilihan hukum karena mencantumkan hukum yang berlaku terhadap kontrak yang mereka buat, pengadilan akan menerapkan hukum yang paling memiliki kedekatan hubungan dengan tempat kontrak tersebut dibuat. Oleh karena itu, bahasa hukum yang digunakan dalam kontrak adalah indikator penting untuk menetukan sistem hukum yang paling tepat diterapkan kepada kontrak tersebut. Faktor lain yang juga dapat menetukan pilihan hukum adalah hukum tempat kontrak itu dibuat dan hukum tempat kontrak diselenggarakan ataupun hukum tempat tinggal para pihak yang menandatangani kontrak.

UU ITE menegaskan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif yanga berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya (Pasal 18 ayat (4) UU ITE). Ketentuan ini cenderung menunjukkan bahwa konsumen harus benar-benar mencermati apakan kontrak internasional yang benar-benar mencermati apakah kontrak internasional yanga akan disepakati sudah menetapkan forum pengadilan, arbitrase ataupun lembaga peneyelesaian sengketa alternatif. Karena forum-forum inilah yang niatnya muncul sebagai ruang kekuatan utama untuk menyelesaikan sengeketa konsumen dan pelaku usaha. Sebaliknya, konsumen harus lebih berhati-hati jika kontrak internasional tidak mencantumkan alternatif forum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengeketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik.

Bagaimana pun, tidak diragukan lagi bahwa peningkatan intensitas perdagangan barang dan jasa yang dilakukan lewat media elektronik (e-commerce) membuat orang menyadari akan pentingnya sistem proteksi bagi mereka yang melakukan transaksi dalam media itu. Dengan adanya transaksi yang menggunakan media internet, waktu dan tempat bukan merupakan faktor penghalang bagi pelaku ekonomi untuk melaksanakan transaksi. Bahkan, para pelaku transaksi tidak perlu saling bertemu secara fisik untuk dapat melaksanakan transaksinya. Sistem transaksi yang sedang berjalan juga berubah mengikuti perkembangan tersebut, dengan sistem transaksi mengalami perubahan menjadi sistem online shopping, online dealing, dan lain sebagainya, sehingga pembeli yang membutuhkan barang dapat mengakses internet yang dimilikinya untuk mencari dan membeli apa yang dibutuhkan tanpa untuk mencari dan membeli apa yang dibutuhkan tanpa harus langsung datang ke toko untuk membeli barang atau jasa yang dibutuhkan.

Perkembangan pesat teknologi informasi telah melahirkan bentuk transaksi baru antara konsumen dengan pelaku usaha. Transaksi yang terjadi antara kedua subjek hukum ini pada dasarnya adalah pasar yang sangat potensial, karena konsumen dapat melakukan transaksi dengan distributor atau produsen (pelaku usaha) di seluruh penjuru dunia dapat dilakukan dengan biaya yang relatif rendah. Masalahnya, pasal 1 ayat (1) UUPK mendefinisikan kata “perlindungan konsumen” dalam pengertian yang limitatif, karena ketentuan ini hanya menyembutkan bahwa: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen. Tafsiran antar makna “perlindungan konsumen” yang tersebtu dalam pasal 1 ayat (1) UUPK, perlu diperluas, sehingga “perlindungan konsumen yang melakukan transaksi secara elektronik”. Ahmad Ramli berpendapat bahwa perlindungan konsumen dalam UUPK, karena saat ini terdapat konsumen yang sering melakukan transaksi secara online dengan menggunakan media internet.

Tentu saja perluasan tafsiran makna perlindungan konsumen yanga tercantum dalam UUPK memiliki tujuan yang lebih luas dari pada sekedar melindungi konsumen yang melakukan transaksi seperti yang berlangsung dalam perdagangan konvensional (offline), karena fakta empiris menunjukkan bahwa konsumen yang melakukan transaksi secara elektronik sering tidak dapat meneliti barang atau jasa yang dipromosikan pelaku usaha. Seperti terbukti dalam beberapa peristiwa, barang dan jasa tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah dideskripsikan pelaku usaha dalam website-nya. Bahkan, mereka juga sering membuat iklan yang menyesatkan karena iklan tidak didukung oleh kualitas riil produk barang atau jasa yang ditawarkan (false represent-ation), sehingga konsumen dirugikan oleh perbuatan pelaku usaha seperti itu. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa tingginya derajat resiko yang dihadapi konsumen harus disertai dengan peningkatan taraf perlindungan terhadap hak dan kewajibannya.

Dengan harapan memberikan perlindugan yang maksimal (more protection) kepada konsumen antara lain memiliki hak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur tentang kondisi dan jaminan baranga ataupun jasa (Pasal 4 huruf h). persoalan ini kembali ditegaskan secara lebih spesifik delam kenetuan pasal 9 UU ITE yang menyebutkan bahwa pelaku usaha yang menawarkan prosuk melalui sistem elektornik harus yang menawarkan produk melalui sistem elektornik harus menyediakan informasi yang lengkaop dan benar terkait denbgan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan. Kenyataannya, masih saja terdapat tindakan oknum pengguna internet yang sangat merugikan konsumen. Contoh terbaik dari persoalan itu adalah kasus situs palsu yang baru-baru ini diungkap oleh Petrus Reinhard Goles, Kepala Unit Cyber Crime Direktorat Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Dalam kasus itu terungkap bahwa Chumphon Korp Phaibun, seorang warga negara Thailand, tertipu oleh sebuah situs Indonesia, yakni www.henbing.com. Melalui sistus tersebut. Chumphon bertransaksi membeli sebuah jet ski seharga US$ 19.520 (sembilan belas ribu lima ratus dua puluh dollar amerika Serikat). Namun, setelah mengirim uang ke dua rekening di bank mandiri, jet ski yang dipesennya juga tidak datang. Setelah menerima laporan, akhirnya penyidik polri mendatangi Chumphon ke Bangkok. Dari penyelidikan dan penyelidikan polisi di internet akhirnya mereka berhasil menangkap pelaku.

Untuk mengatasi persoalan situs yang berkedok penjualan baranga atau jasa fiktif, UU ITE sebenarnya mendesain ketentuan yang bersifat preventif dan kelembagaan (institusional) terutama untuk menghadapi persoalan maraknya situs-situs palsu yang menyesatkan konsumen. Salah satu upaya tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 10 ayai (1) UU ITE yang mengatakan bahwa: setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektornik dapat disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan (Certification Authority). Lembaga ini akan menerbitkan sertifikasi kepada pelaku usaha sebagai bukti bahwa mereka yang melakukan perdagangan secara elektornik memang layak berusaha. Agar dapat memeperoleh sertifikat keandalan, pengguna (user) harus melewati tahap penilaian dan audit dari badan yang berwenang menerbitkan sertifikasi keandalan. Bukti telah dilakukan sertifikasi keandalan ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada halaman (home page) pelaku usaha.

Lembaga yang menerbitkan trust mark sering juga disebut dengan Certification Authority (CA) atau Trusted Third Party (TTP). Lembaga ini adalah sebuah badan hukum yang nantinya berfungsi sebagai pihak ketiga terpercaya yang menerbitkan Sertifikat Digital. Kehadiran lembaga ini sangat diperlukan karena dapat membuat iklim transaksi elektornik relatif lebih aman dan terpercaya oleh pengguna internet dalam  menjalankan pertukaran informasi secara elektornis. Bagaimanapun institusi CA mempunyai sarana yang efektif untuk memenuhi 4 (empat) aspek keamanan transaksi elektornik. Empat aspek keamanan itu antara lain: authentification (otensitas), integrity (integritas), non-repudation (tidak disangkal), dan privacy atau confidentiality (informasi yang dipertukarkan hanya dapat dibaca oleh pihak yang berhak).

Sumber : Dr. Iman Sjahputra, S.H., S.p.N., LL.M. “Perlindugan Konsumen Dalam Transaksi Elektronik-ditinjau dari perspektif hukum perlindungan konsumen dan hukum siber”. (Bandung: PT. Alumni, 2010). H 145-154
Read More >>