Laman

Minggu, 23 Desember 2012

Fungsi Sertifikasi Elektronik dan Sertifikasi Keandalan dalam Dunia Usaha

Siapa penyelenggara sertifikasi elektronik? Apakah lembaga sertifikasi keandalan dapat memberikan sertifikasi terhadap dokumen elektronik? Atau hanya berlaku terhadap transaksi elektronik? Thanks.
 
Jawaban dari bapak Teguh Arifiyadi, S.H., M.H.
 
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
Kami asumsikan, penyelenggara sertifikasi elektronik yang Anda maksud adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, menurut Pasal 1 angka 10 UU ITE, adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik. Badan hukum sebagaimana dimaksud dapat berupa badan hukum privat (swasta) atau pemerintah. Badan hukum tersebut nantinya akan bertindak sebagai Certification Authority (“CA”) yang secara teknis berada di bawah induk (Root) CA yang saat ini business process-nya sedang disiapkan oleh pemerintah.
 
Fungsi sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik itu sendiri adalah untuk menjamin keamananan penyelenggaraan sistem elektronik. Contoh konkretnya adalah penyelenggaraan sistem elektronik layanan perbankan dijamin aman oleh penyelenggara sertifikasi elektronik apabila telah mendapatkan sertifikat elektronik. Lembaga-lembaga non-perbankan seperti penerbangan, telekomunikasi, teknologi informasi, pasar modal dan lain-lain juga dapat menggunakan sertifikat elektronik untuk memastikan keamanan penyelenggaraan sistem elektronik mereka.
 
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik nantinya lebih detail diatur dalam Peraturan Pemerintah. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“RPP PSTE”) yang merupakan turunan dari UU ITE. Dalam RPP PSTE tersebut hal yang berkaitan dengan Penyelenggara Sistem Elektronik diatur dalam Pasal 57 sampai Pasal 61. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengakuan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik dan pengawasan Penyelenggara Sistem Elektronik oleh Menteri Komunikasi dan Informatika.
 
Lembaga Sertifikasi Keandalan
Lembaga Sertifikasi Keandalan (atau banyak juga yang menyebutnya sebagai trustmark) sesuai dengan Pasal 1 angka 11 UU ITE adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik. Sedangkan, Transaksi Elektronik sendiri dalam Pasal 1 angka 2 UU ITE didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
 
Dalam Pasal 1 angka 10 RPP PSTE dijelaskan bahwa yang dimaksud Sertifikat Keandalan adalah dokumen yang menyatakan Pelaku Usaha yang menyelenggarakan transaksi secara elektronik telah lulus audit atau uji kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan. Dengan demikian, obyek dari sertifikat keandalan bukan pada dokumen elektronik maupun transaksi elektroniknya melainkan pada pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik. Dalam istilah sederhananya adalah pemberian kepercayaan terhadap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik.
 
Pemberian Sertifikat Keandalan sendiri sesuai RPP PSTE dibedakan berdasarkan 5 (lima) kategori yaitu:
·         Kategori 1 - Pengamanan terhadap identitas (identitiy seal);
·         Kategori 2 - Pengamanan terhadap pertukaran data (security seal);
·         Kategori 3 - Pengamanan terhadap kerawanan (vulnerability seal);
·         Kategori 4 - Pemeringkatan konsumen (consumer rating seal); dan
·         Kategori 5 - Pengamanan terhadap kerahasiaan pribadi (privacy seal).
 
Contoh praktiknya adalah misalkan pelaku usaha “jual beli online” yang menyelenggarakan transaksi elektronik telah mendapat sertifikat keandalan kategori 2. Itu artinya dapat dikatakan bahwa pelaku usaha “jual beli online” tersebut dapat dipercaya atau diyakini aman dalam hal konsumen melakukan pertukaran data dalam layanan “jual beli online” tersebut. Bentuk pengakuan sertifikat keandalan biasanya berupa dokumen elektronik seperti sebuah tanda/simbol dalam sebuah tampilan layanan elektronis.
 
Ketentuan lebih detail tentang Sertifikasi Keandalan nantinya akan diatur dalam pasal 62 sampai 69 RPP PSTE yang saat ini sedang dalam tahapan menunggu tanda tangan presiden untuk segera disahkan.
 
Terima kasih.
 
Dasar hukum:

Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5057c34824c0c/fungsi-sertifikasi-elektronik-dan-sertifikasi-keandalan-dalam-dunia-usaha
Read More >>

Pasal untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial

Pertanyaan : Apa interpretasi "Tanpa Hak" pada Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik? Efektifkah Pasal ini? Dan tolong beri contoh penerapannya. Terima kasih.
az4.4ever

Jawaban:
 
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber. ‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.
 
Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
 
Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
 
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
 
Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.
 
Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan oleh Aparat penegak Hukum (“APH”) untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.
 
Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
 
Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.
 
 
 
sumber :  http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fb9207f1726f/pasal-untuk-menjerat-penyebar-kebencian-sara-di-jejaring-sosial-
Read More >>

Sabtu, 08 Desember 2012

Asas Yurisdiksi Ektrateritorial dalam UU PT (Pemberlakuan Asas Yurisdiksi Ekstrateritorial dalam RUPS yang diselenggarakan melalui media Telekonferensi)

Berikut sebagian kutipan penulis dalam karya ilmiah (tesis) penulis dengan judul Aspek Legalitas RUPS melalui media telekonferensi.
Dalam cuplikan ini penulis menganalisa bahwa sah-sah saja suatu RUPS yang dilakukan oleh para pemegang saham dari suatu PT berbadan hukum Indonesia dimanapun para pemegang saham itu berada melalui ketentuan yang diatur dalam pasal 77 UU PT ( RUPS Modern ).
Berikut kutipan tersebut :
"RUPS Modern
Pasal 77 UUPT :
(1)Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat;
(2)Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan;
(3)Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(4)Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

Jelas dalam Pasal 77 ayat (1) UU PT diatur pengecualian terhadap penyelenggaraan RUPS konvensional sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU PT yang mensyaratkan kehadiran secara fisik pemegang saham atau yang mewakilinya dalam satu forum rapat yang diselenggarakan ditempat yang telah ditentukan dalam undang-undang yaitu ditempat kedudukan perseroan atau ditempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama atau di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan (khusus bagi Perseroan Terbuka) atau dengan syarat-syarat tertentu dapat dilakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia.

Ketentuan Pasal 77 UU PT selain mengatur cara penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, juga menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS.
Tidak seperti syarat kuorum dan syarat pengambilan keputusan yang ditentukan dalam Pasal 76 UU PT, maka dalam Pasal 77 UU PT kedua hal tersebut diserahkan pada ketentuan-ketentuan yang mengatur materi tersebut yaitu di dalam Pasal 86 ayat (1), Pasal 87 ayat (2), Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) UU PT.
Dengan demikian RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya (RUPS Modern) dapat diselenggarakan apabila dalam RUPS tersebut lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali untuk materi-materi tertentu seperti agenda rapat mengenai perubahan anggaran dasar, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan; sedangkan mengenai agenda rapat untuk untuk menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan agar perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah ¾ ( tiga perempat) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.

Dengan demikian dari segi teleologis dapat dikatakan bahwa UU PT sungguh-sungguh berusaha memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif, jaminan mana diwujudkan dengan mengadakan ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan teknologi informasi dalam pelaksanaan/ penyelenggaraan RUPS suatu perseroan.

Salah satu keuntungan dengan menggunakan teknologi informasi adalah teknologinya amat memudahkan penggunanya untuk menyebarkan infomasi secara global. Akibatnya pengguna juga mendapatkan akses informasi dunia secara mudah. Karena sifat ini, teknologi informasi sering kali disebut sebagai teknologi yang tidak mengenal wilayah (borderless).
Ketentuan Pasal 77 UU PT yang menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS sejalan dengan hakekat teknologi informasi yang tidak mengenal wilayah (borderless) dan ini membawa dampak bagi permasalahan yuridiksi keberlakuan Undang-undang Perseroan Terbatas itu sendiri yaitu apakah undang-undang ini hanya berlaku di wilayah Republik Indonesia ataukah undang-undang ini memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial.

Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
Kedua, objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
Ketiga, nationality yang menentukan bahwa Negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah, dan
keenam, asas Universality. ( Ahmad M.Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, 2004;19-20)
Diantara berbagai asas di atas asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universalinterest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. (M Arsyad Sanusi, Konvergensi Hukum dan Teknologi Informasi, 2007:386).

Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut sebagai Lex Informatica.(Aaron Mefford, Lex Informatica, 1997:213)

Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional, antara lain menyangkut masalah kompetensi forum yang berperan dalam menentukan kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (HPI).
Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : Pertama, the principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat.
Kedua, principle of effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement enforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada jaminan pelaksanaan putusan pengadilan asing, misalnya melalui konvensi internasional.

Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
Pertama The Theory of the Uploader and the Downloader. Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut.
Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing.
Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

Sesuai uraian di atas, maka dapat diambil suatu sikap bahwa keberlakuan UU PT berdasarkan asas Nasionality dapat diberlakukan bagi RUPS Perseroan Terbatas yang diselenggarakan melalui telekonferensi dimana para peserta rapat tidak harus berada di wilayah Republik Indonesia; dengan kata lain UU PT memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial yaitu berlakunya ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU PT bagi penyelenggaraan RUPS yang diadakan diluar wilayah Republik Indonesia, demikian dengan pertimbangan bahwa badan hukum perseroan tersebut didirikan menurut hukum Indonesia (tanpa harus memperhatikan kewarganegaraan pribadi dari para pemegang sahamnya), maka sebagai badan hukum (rechtpersoon) perseroan terbatas adalah subyek hukum yang mandiri (persona standi in yudicio) merupakan pendukung hak dan kewajiban yang setara dengan manusia/warga negara suatu negara.
(
Bandingkan dengan definisi Seorang Warga Negara dari Negara Amerika Serikat : To determine if a Limited Liability Company (L.L.C.) meets the requirements of a " citizen of the United States", its structure is measured against the definition of a United States corporation or association contained in Title 49, U.S.C., 40102(a)(15), which provides as follows: “'Citizen of the United States' means (a) an individual who is a citizen of the United States, or (b) a partnership each of whose partners is an individual who is a citizen of the United States, or (c) a corporation or association organized under the laws of the United States or a State, the District of Columbia, or a territory or possession of the United States, of which the president and at least two-thirds of the board of directors and other managing officers are citizens of the United States, and in which at least 75 percent of the voting interest is owned or controlled by persons that are citizens of the United States."
Dari segi ontologis maka keberadaan Pasal 77 UU ITE adalah perwujudan atau keberadaannya merupakan reaksi terhadap perubahan sosial yang mengikuti perkembangan teknologi..."

Kesimpulan :
Berdasarkan karakteristik ruang cyber dan hakekat teknologi informasi yang tidak kenal batas ruang ( borderless ), maka ketentuan dalam pasal 77 UU PT dapat diterapkan dalam suatu forum Rapat dimanapun para pemegang saham suatu PT tersebut berada.
Rapat yang demikian berdasarkan asas nasionalitas tetap dapat dipertanggung jawabkan sebagai suatu Rapat Umum Pemegang Saham yang sah ( tentu saja harus dipenuhi syarat-syarat lain dalam ayat 2-4 pasal 77 UU PT ).
Apabila ada pembaca yang hendak melengkapi atau bahkan mengkritisi, kami persilahkan, demi kemajuan kita bersama, terima kasih.
 
sumber : http://notarissby.blogspot.com/2010/02/asas-yurisdiksi-ektrateritorial-dalam.html diakses pada 8 desember 2012 pukul 12:48
Read More >>

Kamis, 06 Desember 2012

Kegundahanku



Sepintas hanya akan tergambar jika aku hanyalah seorang manusia biasa yang berbeda dengan manusia yang lain. Seandainya aku memiliki kesempatan untuk merubah dunia, aku akan mengambil bagianku tersebut. Namun kembali aku terbangun dan tersedar itu hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang sukar untuk menjadi nyata.

Setiap orang memiliki pilihannya, saat ini atau nanti. Tetapi mengapa aku selalu tak bisa memilih sendiri? Mengapa mesti ditentukan oleh orang lain yang sesungguhnya tidak tau kemauan aku itu apa? 

Aku tak dapat mengerti dengan keadaan ini. Ingin berubah tapi tak dapat melakukan apapun. Ingin ini, ingin itu. Tapi kesemuanya telah menjadi pilihan orang. Pikiranku dalam hal ini entah berasal darimana akupun tak mengetahuinya. Tapi setelah menjalani pendidikan selama kurang lebih 12 tahun membuatku kembali bertanya kepada diriku sendiri.

“indonesia adalah bangsa yang plural” begitulah kata pengajar-pengajarku.
Bhineka tunggal ika = berbeda-beda tapi satu jua

 Pancasila sudah terlupakan (menurutku)

Indonesia bangsa yang plural/beraneka ragam. Kenapa perbedaan itu ingin diseragamkan? Contohnya dari aspek pendidikan kita berbeda, tapi pada saat kesekolah mesti menggunakan seragam. Itu berawal dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah. Itu salah satu wujud pengingkaran kita pada pluralisme bangsa kita. Dengan alibi keindahan dan mencerminkan persatuan bangsa. 

Dari mana? 

Hal itu malah membuat pengkotak-kotakan, stratifikasi kelompok, dan sekarang berakibat perasaan solid dan persatuan itu hanya berlaku disekitar keseragaman tersebut saja. Dan akhirnya saat ini sering terjadi konflik antara kelompok-kelompok yang tercipta dari penyeragaman yang sebenarnya hanya penyeragaman sebagian kalangan. 

Tidakkah kita sadari jika justru perbedaan kita tersebut akan menjadi faktor utama pemersatu kita? Dengan kerja sama bukan membuat kelompok baru yang lebih besar. Tapi perbedaan itu akan saling menyempurnahkan kesatuan kita.

Trias politika di indonesia

Memang masih ada? Sistem kekuasaan dalam suatu negara dibagi atas 3 yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif

Legislatif menjalankan fungsinya sebagai pembuat peraturan. Eksekutif sebagai pelaksana peraturan Dan yudikatif sebagai pengawas pelaksanaan peraturan tersebut.

Sepertinya tidak berjalan dengan baik di indonesia khususnya. Contohnya pada dasarnya partai politik hanya sampai pada ranah eksekutif dan legislatif, sekarang telah merabat sampai pada ranah yudikatif. Hal ini tidak terlepas pada penentuan siapa yang berhak duduk di jabatan yudikatif adalah legislatif dan eksekutif.

Bagaimana nasib anak cucuku nanti? apakah mereka masih dapat merasakan jaminan dari para pemimpin negaraku nanti. :'(
semoga saja
Read More >>

Selasa, 27 November 2012

Hal hal yang mengenai likuiditas dalam perbankan

1. Apa akibat dilikuidasinya bank terhadap masyarakata.
a. Akibat dilikuidasinya suatu bank maka yang terjadi adalah masyarakat akan berbondong bonding menarik uangnya dalam jumlah yang besar dalam berbagai bank, hal ini dilakukan kerena masyarakat merasa tidak aman kalau menyimpan uangnya di bank
b. Masyarakat yang menyimpan uangnya d bank yang d likuidasi akan mengalami kesulitan ketika akan   menarik dananya
c.Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap bank

2. Pengertian likuidasi bank.
   Menurut Kamus Perbankan, likuidasi adalah pembubaran perusahaan dengan penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, dan perlunasan utang serta penjelasan sisa harta atau utang antara para pemilik.
Secara umum pengertian likuidasi bank adalah merupakan tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha yang pembubaran badan hukum bank. Jadi likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank.

3. Apakah pengertian sindikasi kredit (credit syndication)?.
  Sindikasi kredit adalah suatu sindikasi yang peserta-pesertanya terdiri dari lembaga-lembaga pemberi kredit yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kredit kepada suatu perusahaan yang memerlukan kredit untuk membiayai suatu proyek.
Kredit sindikasi merupakan pinjaman yang diberikan dua atau lebih lembaga keuangan dengan persyaratan dan kondisi yang serupa, menggunakan dokumentasi yang umum dan ditatausahakan oleh suatu Agent Bank, disusun oleh arranger yang bertugas dan bertanggungjawab mulai dari proses solisitasi (permintaan pinjaman) nasabah sampai dengan proses penandatanganan kredit.

4. Apakah pengertian kredit sindikasi (syndicated loan)?.
   Kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan oleh sindikasi kredit.. kredit sindikasi dapat diartikan sebagai dana yang diberikan secara bersama-sama oleh beberapa bank berdasarkan satu perjanjian kredit saja, dan pada saat yang sama diberikan juga oleh masing-masing bank tersebut.
Pada umumnya, kredit sindikasi memiliki kesamaan dengan kredit biasa.74 Keduanya sama-sama merupakan upaya bank untuk menyalurkan dana kepada pihak yang membutuhkannya untuk dipergunakan sebagai modal kerja atau keperluan investasi dalam jangka waktu tertentu. Namun demikian, terdapat banyak faktor yang membedakan keduanya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor Perjanjian Kredit
   Dalam perjanjian kredit sindikasi terdapat ketentuan mengenai hubungan hukum antara debitur  dengan pihak-pihak terkait, seperti participants dan Agent Bank.
b. Faktor Lead Manager
   Dalam kredit sindikasi diperlukan satu pihak dari peserta sindikasi untuk memimpin mereka dalam melakukan kredit sindikasi. Pihak ini disebut Lead Manager.
c. Faktor Suku Bunga
   Pada kredit sindikasi. Ada kalanya dilakukan negosiasi khusus mengenai tingkat suku bunga yang akan dibebankan kepada debitur bersangkutan. Biasanya sistem suku bunga yang digunakan adalah Fixed Rate atau Floating Rate.
d. Faktor Market
   Target yang dituju dalam kredit sindikasi biasanya adalah perseroan terbatas.
e. Faktor Jangka Waktu
   Pada umumnya kredit sindikasi berjangka waktu panjang, antara 3-15 tahun.

5. Bagaimana pembubaran badan Hukum Bank yang dilikuidasi?
   
Menurut UU no 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin simpana sebagaimana yang telah diubah UU no 7 2009, LPS berwenang untuk melakukan pengurusan terkait likuidasi bank gagal dan sebagainya.  Sebagaimana yang telah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan no 1/PLPS/ 2011 tentang Likuidasi Bank terkait dengan Pembubaran Badan Hukum Bank, dalam konteks Bank yang dilikuidasi, LPS mengambil alih wewenang RUPS yang salah satunya adalah melakukan Pembubaran badan hukum bank yang mana diurus oleh Tim Likuidasi bentukan LPS. Dalam pasal 22 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan no 1/PLPS/ 2011 disebutkan dalam rangka pembubaran badan hukum bank, tim likuidasi melakukan tindakan; a.  memberitahukan kepada semua kreditur mengenai pembubaran badan hukum bank dengan cara mengumumkan pembubaran badan hukum bank dalam dua surat kabar harian yang mempunyai peredaran  luas dan dalam Berita Negara Republik Indonesia, b. memberitahukan pembubaranbadan hukum bank kepada instansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan. Ini dilaksanakan paling lama tiga puluh hari kalender sejak tanggal pembubaran badan hukum bank sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemberitahuan kepada kreditur ini sekurang-kurangnya memuat; Pembubaran badan hukum bank serta dasar hukumnya, nama dan alamat tim likuidasi, tata cara pengajuan tagihan dan jangka waktu pengajuan tagihan. Jangka waktu pengajuan tagihan adalah enam puluh hari sejak tanggal pengumumannya.

6. Jelaskan siapa saja yang memperoleh pembayaran dari hasil likuidasi bank?
 
Pihak-pihak yang memperoleh pembayaran dari hasil likuidasi menurut Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan no 1/PLPS/ 2011, yang paling utama adalah kepada para kreditur, dalam pasal 38 diatur bahwa pembayaran kewajiban bank yang dilikuidasi kepada kreditur dilakukan dengan urutan;
a.  Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang
b.  Penggantian atas talangan pesangon pegawai
c.  Biaya perkara pengadilan, biaya lelang yang terutang dan biaya operasional kantor
d.  Biaya penyelamatan yang dilakukan LPS dan/atau pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS
e.  Pajak yang terutang
f.  Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan
g. Hak kreditur lainnya.
Dari sini saja sebenarnya sudah dilihat ada beberapa pihak yang mendapatkan pembayaran dari hasil likuidasi yaitu, pegawai (dalam hal ini termasuk direksi dan komisaris sesuai yang diatur pasal 23 sampai pasal 26), LPS sendiri, Negara (dalam hal pajak), Pengadilan, pelelangan, nasabah dan tentunya kreditur bank yang dilikuidasi tersebut. namun dalam pasal 30 dimungkinkan terdapat pihak lain yang berhak untuk mendapat pembayaran dalam rangka apabila bank melakukan kegiatan penitipan atau dalam kedudukan bank sebagai kustodian, tetapi ini harus menunggu sampai Neraca semntara likuidasi diserahkan ke LPS.

7. Jenis-jenis kredit sindikasi
Ada dua Jenis Kredit Sindikasi yaitu:
1. Sindikasi Murni   Kredit yang disindikasikan oleh dua bank atau lebih berdasarkan sebuah Perjanjian Kredit yang berlaku sama untuk semua Kreditur. Dokumen-dokumen Perjanjian Kredit ini diadministrasikan oleh Agen.
Tujuan: Mengorganisasikan proses pembentukan Kredit Sindikasi antara bank-bank dan/atau lembaga keuangan dalam rangka pembiayaan proyek berskala besar yang tidak mampu dibiayai sendiri oleh sebuah bank.
Keuntungan:  
-Ada peluang untuk memperoleh pembiayaan yang lebih besar.
-Prosedur administrasi yang mudah dan sederhana.
-Meningkatkan track record.
-Meningkatkan kredibilitas.
2.Club Deal
 
Fasilitas kredit multilateral untuk sebuah proyek yang spesifik berdasarkan perjanjian kredit bilateral antara Debitur dengan masing-masing Kreditur.
Tujuan: Sebagai pilihan alternatif bagi Debitur bila salah satu Kreditur memiliki keterbatasan dalam menyediakan atau meningkatkan faslitas kredit dalam hal skala pembiayaan, Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau pertimbangan risiko.
Keuntungan:
- Debitur memiliki kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan atas proyeknya.
- Adanya negosiasi intensif antara Debitur dengan masing-masing Kreditur.
- Menjaga hubungan bisnis.
- Mengatasi masalah BMPK tanpa kehilangan nasabah.
- Masing-masing Kreditur memiliki wewenang untuk membuat keputusan sesuai dengan perjanjian bilateral dengan Debitur.
- Menyebarkan risiko.

8. Jelaskan primary market dan secondary market syndication dalam kredit sindikasi
Jenis-Jenis Syndication Market
a. Primary Market
 
Merupakan sindikasi kredit yang dibentuk oleh bank-bank yang sejak semula terpilih sebagai anggota sindikasi. Proses sindikasi primer ini terjadi pada periode sampai dengan penandatanganan perjanjian kredit sindikasi dimana semua anggota sindikasi tercatat dalam Bank (arranger) yang melaksanakan kegiatan “running the books”
b. Secoundary Market
 
Merupakan sindikasi kredit yang terjadi setelah Perjanjian Kredit Sindikasi ditandatangani. Ada 3 metode untuk menciptakan Sindikasi Sekunder :
a) Risk Participation
b) Assignment
c) Novation

Read More >>

Sabtu, 10 November 2012

Sedikit Menilik Otoritas Jasa Keuangan Menurut UU No. 21 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

I. Pendahuluan
Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya UU ini selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali dirubah, yakni ;
  • Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional.

  • Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.

  • Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan

  • Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Harapan penataan melalui UU No.21 Tentang Otoritas Jasa Keuangan :
  • Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.

  • Agar pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi
II. Asas-Asas OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:
  1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

  3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

  4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

  5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

  7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
III. Dewan Komisioner OJK
Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial, yang beranggotakan 9 (sembilan) orang. Kesembilan orang tersebut terdiri dari 7 (tujuh)  orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, 1 (satu) ex-officio dari Bank Indonesia dan 1 (satu) ex-officio dari Kementerian Keuangan. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan
Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
IV. Tugas OJK
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
  1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi :
    • Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

    • Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

    • Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;

    • Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:  manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
  1. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
    • Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

    • Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

    • Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK

    • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

    • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

    • Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

    • Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
  1. Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
    • Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

    • Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

    • Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

    • Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

    • Melakukan penunjukan pengelola statuter;

    • Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

    • Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

    • Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.
V. Hubungan Kelembagaan OJK dengan Bank Indonesia dan LPS.
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, akan tetapi tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank dan laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya hasil pemeriksaan.
Jika OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia
OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK.
OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.
VI. Hubungan Kelembagaan OJK dengan DPR RI
Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan anggaran OJK terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan dan tahunan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Dalam hal persetujuan perjanjian internasional di sektor jasa keuangan menyangkut masalah hukum dan berdampak pada sistem keuangan nasional, OJK wajib mendapatkan konfirmasi dari Dewan Perwakilan Rakyat
Read More >>

Jumat, 09 November 2012

Kuliah Umum Kepada Ilmu Hukum UIN JKT Oleh Bapak Lukman H. Saifuddin

Pada pagi hari yang mendung melangkah bersama kawan-kawan seangkatan dan senior, dengan penuh antusias menuju bis yang telah menunggu sejak pagi hari. kenapa dengan antusias? karena hari ini aku dan kawan-kawan akan mendapatkan kuliah umum dari salah seorang yang berpengaruh di negara ini. Yaitu tidak lain adalah Bapak H Lukman H Syaifuddin yakni pada saat ini menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Tak memerlukan waktu yang cukup lama, bis telah terisi penuh oleh 85 orang mahasiswa. Sesaat setelah seluruh bangku didalam bis terisi penuh, pak sopir pun menjalankan bisnya dengan perlahan menuju gerbang keluar kampus tercinta Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, Tangerang Selatan - provinsi Banten. Sepanjang perjalanan terngingan ditelingan candaan dan obrolan para mahasiswa. Ada yang melanjutkan tidurnya, ada yang menyantap cemilan dan lain-lain. Situasi lalu lintas yang cenderung tidak ramai membuat bis rombongan cepat sampai ditujuan.
Perlahan bis rombongan kami memasuki kawasan senayan dan segera menuju gerbang belakang gedung DPR - MPR senayan. Dengan rasa takjub dan perasaan bangga dapat memasuki gedung yang merupakan salah satu tempat bersejarah di Indonesia. Di tempat ini pada tragedi tahun 1998, diduduki oleh ribuan mahasiswa yang kala ini melakukan demonstrasi masa menuntut turunnya presiden Mayjen. H. M. Soeharto yang telah berkuasa selama 36 tahun lamanya. Dan pada akhirnya presiden ke 2 (dua) Indonesia itu pun memundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Kemudian untuk sementara tampuk kepemimpinan negara di serahkan kepada Burhanudin Jusuf Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden Indonesia ke - 7 (tujuh).
Setelah memasuki ruangan nusantara V para mahasiswa pun berebutan untuk mendapatkan tempat duduk terdepan. aku menjadi salah satu mahasiswa yang mendapatkan tempat duduk kedua dari depan. Kembali terbayang jika ruangan inilah sering digunakan oleh para anggota dewan untuk rapat dan membicarakan hal-hal mengenai bangsa Indonesia. Sekaligus menjadi tempat tidur para dewan yang sedang mengikuti rapat.
Setelah mengikuti Kuliah Umum maka diakhiri sesi foto-foto mulai dari dalam ruangan kuliah umun sampai pada halaman depan gedung DPR MPR


Read More >>

Hak Pasien atas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit




Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah:
a)     Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b)     hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c)     hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d)     hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e)     hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f)       hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g)     hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h)     hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga merupakan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29/2004 adalah:
a)      mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
b)     meminta pendapat dokter atau dokter lain;
c)     mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d)     menolak tindakan medis;
e)     mendapatkan isi rekam medis.
Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu:
a)     memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
b)     memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c)     memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d)     memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
e)     memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f)       mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g)     memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h)     meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
i)        mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;
j)       mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k)      memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l)        didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m)    menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n)     memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;
o)     mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
p)     menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
q)     menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
r)       mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia bagi pasien adalah:
1.      Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45 UUPK)
2.      Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran hak-hak pasien.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2.      Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3.      Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
sumber:  www.hukumonline.com
Read More >>