Laman

Minggu, 23 Desember 2012

Fungsi Sertifikasi Elektronik dan Sertifikasi Keandalan dalam Dunia Usaha

Siapa penyelenggara sertifikasi elektronik? Apakah lembaga sertifikasi keandalan dapat memberikan sertifikasi terhadap dokumen elektronik? Atau hanya berlaku terhadap transaksi elektronik? Thanks.
 
Jawaban dari bapak Teguh Arifiyadi, S.H., M.H.
 
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
Kami asumsikan, penyelenggara sertifikasi elektronik yang Anda maksud adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, menurut Pasal 1 angka 10 UU ITE, adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik. Badan hukum sebagaimana dimaksud dapat berupa badan hukum privat (swasta) atau pemerintah. Badan hukum tersebut nantinya akan bertindak sebagai Certification Authority (“CA”) yang secara teknis berada di bawah induk (Root) CA yang saat ini business process-nya sedang disiapkan oleh pemerintah.
 
Fungsi sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik itu sendiri adalah untuk menjamin keamananan penyelenggaraan sistem elektronik. Contoh konkretnya adalah penyelenggaraan sistem elektronik layanan perbankan dijamin aman oleh penyelenggara sertifikasi elektronik apabila telah mendapatkan sertifikat elektronik. Lembaga-lembaga non-perbankan seperti penerbangan, telekomunikasi, teknologi informasi, pasar modal dan lain-lain juga dapat menggunakan sertifikat elektronik untuk memastikan keamanan penyelenggaraan sistem elektronik mereka.
 
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik nantinya lebih detail diatur dalam Peraturan Pemerintah. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“RPP PSTE”) yang merupakan turunan dari UU ITE. Dalam RPP PSTE tersebut hal yang berkaitan dengan Penyelenggara Sistem Elektronik diatur dalam Pasal 57 sampai Pasal 61. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengakuan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik dan pengawasan Penyelenggara Sistem Elektronik oleh Menteri Komunikasi dan Informatika.
 
Lembaga Sertifikasi Keandalan
Lembaga Sertifikasi Keandalan (atau banyak juga yang menyebutnya sebagai trustmark) sesuai dengan Pasal 1 angka 11 UU ITE adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik. Sedangkan, Transaksi Elektronik sendiri dalam Pasal 1 angka 2 UU ITE didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
 
Dalam Pasal 1 angka 10 RPP PSTE dijelaskan bahwa yang dimaksud Sertifikat Keandalan adalah dokumen yang menyatakan Pelaku Usaha yang menyelenggarakan transaksi secara elektronik telah lulus audit atau uji kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan. Dengan demikian, obyek dari sertifikat keandalan bukan pada dokumen elektronik maupun transaksi elektroniknya melainkan pada pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik. Dalam istilah sederhananya adalah pemberian kepercayaan terhadap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik.
 
Pemberian Sertifikat Keandalan sendiri sesuai RPP PSTE dibedakan berdasarkan 5 (lima) kategori yaitu:
·         Kategori 1 - Pengamanan terhadap identitas (identitiy seal);
·         Kategori 2 - Pengamanan terhadap pertukaran data (security seal);
·         Kategori 3 - Pengamanan terhadap kerawanan (vulnerability seal);
·         Kategori 4 - Pemeringkatan konsumen (consumer rating seal); dan
·         Kategori 5 - Pengamanan terhadap kerahasiaan pribadi (privacy seal).
 
Contoh praktiknya adalah misalkan pelaku usaha “jual beli online” yang menyelenggarakan transaksi elektronik telah mendapat sertifikat keandalan kategori 2. Itu artinya dapat dikatakan bahwa pelaku usaha “jual beli online” tersebut dapat dipercaya atau diyakini aman dalam hal konsumen melakukan pertukaran data dalam layanan “jual beli online” tersebut. Bentuk pengakuan sertifikat keandalan biasanya berupa dokumen elektronik seperti sebuah tanda/simbol dalam sebuah tampilan layanan elektronis.
 
Ketentuan lebih detail tentang Sertifikasi Keandalan nantinya akan diatur dalam pasal 62 sampai 69 RPP PSTE yang saat ini sedang dalam tahapan menunggu tanda tangan presiden untuk segera disahkan.
 
Terima kasih.
 
Dasar hukum:

Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5057c34824c0c/fungsi-sertifikasi-elektronik-dan-sertifikasi-keandalan-dalam-dunia-usaha
Read More >>

Pasal untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial

Pertanyaan : Apa interpretasi "Tanpa Hak" pada Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik? Efektifkah Pasal ini? Dan tolong beri contoh penerapannya. Terima kasih.
az4.4ever

Jawaban:
 
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber. ‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.
 
Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
 
Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
 
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
 
Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.
 
Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan oleh Aparat penegak Hukum (“APH”) untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.
 
Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
 
Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.
 
 
 
sumber :  http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fb9207f1726f/pasal-untuk-menjerat-penyebar-kebencian-sara-di-jejaring-sosial-
Read More >>

Sabtu, 08 Desember 2012

Asas Yurisdiksi Ektrateritorial dalam UU PT (Pemberlakuan Asas Yurisdiksi Ekstrateritorial dalam RUPS yang diselenggarakan melalui media Telekonferensi)

Berikut sebagian kutipan penulis dalam karya ilmiah (tesis) penulis dengan judul Aspek Legalitas RUPS melalui media telekonferensi.
Dalam cuplikan ini penulis menganalisa bahwa sah-sah saja suatu RUPS yang dilakukan oleh para pemegang saham dari suatu PT berbadan hukum Indonesia dimanapun para pemegang saham itu berada melalui ketentuan yang diatur dalam pasal 77 UU PT ( RUPS Modern ).
Berikut kutipan tersebut :
"RUPS Modern
Pasal 77 UUPT :
(1)Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat;
(2)Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan;
(3)Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(4)Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

Jelas dalam Pasal 77 ayat (1) UU PT diatur pengecualian terhadap penyelenggaraan RUPS konvensional sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU PT yang mensyaratkan kehadiran secara fisik pemegang saham atau yang mewakilinya dalam satu forum rapat yang diselenggarakan ditempat yang telah ditentukan dalam undang-undang yaitu ditempat kedudukan perseroan atau ditempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama atau di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan (khusus bagi Perseroan Terbuka) atau dengan syarat-syarat tertentu dapat dilakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia.

Ketentuan Pasal 77 UU PT selain mengatur cara penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, juga menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS.
Tidak seperti syarat kuorum dan syarat pengambilan keputusan yang ditentukan dalam Pasal 76 UU PT, maka dalam Pasal 77 UU PT kedua hal tersebut diserahkan pada ketentuan-ketentuan yang mengatur materi tersebut yaitu di dalam Pasal 86 ayat (1), Pasal 87 ayat (2), Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) UU PT.
Dengan demikian RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya (RUPS Modern) dapat diselenggarakan apabila dalam RUPS tersebut lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali untuk materi-materi tertentu seperti agenda rapat mengenai perubahan anggaran dasar, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan; sedangkan mengenai agenda rapat untuk untuk menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan agar perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah ¾ ( tiga perempat) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.

Dengan demikian dari segi teleologis dapat dikatakan bahwa UU PT sungguh-sungguh berusaha memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif, jaminan mana diwujudkan dengan mengadakan ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan teknologi informasi dalam pelaksanaan/ penyelenggaraan RUPS suatu perseroan.

Salah satu keuntungan dengan menggunakan teknologi informasi adalah teknologinya amat memudahkan penggunanya untuk menyebarkan infomasi secara global. Akibatnya pengguna juga mendapatkan akses informasi dunia secara mudah. Karena sifat ini, teknologi informasi sering kali disebut sebagai teknologi yang tidak mengenal wilayah (borderless).
Ketentuan Pasal 77 UU PT yang menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS sejalan dengan hakekat teknologi informasi yang tidak mengenal wilayah (borderless) dan ini membawa dampak bagi permasalahan yuridiksi keberlakuan Undang-undang Perseroan Terbatas itu sendiri yaitu apakah undang-undang ini hanya berlaku di wilayah Republik Indonesia ataukah undang-undang ini memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial.

Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
Kedua, objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
Ketiga, nationality yang menentukan bahwa Negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah, dan
keenam, asas Universality. ( Ahmad M.Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, 2004;19-20)
Diantara berbagai asas di atas asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universalinterest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. (M Arsyad Sanusi, Konvergensi Hukum dan Teknologi Informasi, 2007:386).

Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut sebagai Lex Informatica.(Aaron Mefford, Lex Informatica, 1997:213)

Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional, antara lain menyangkut masalah kompetensi forum yang berperan dalam menentukan kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (HPI).
Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : Pertama, the principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat.
Kedua, principle of effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement enforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada jaminan pelaksanaan putusan pengadilan asing, misalnya melalui konvensi internasional.

Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
Pertama The Theory of the Uploader and the Downloader. Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut.
Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing.
Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

Sesuai uraian di atas, maka dapat diambil suatu sikap bahwa keberlakuan UU PT berdasarkan asas Nasionality dapat diberlakukan bagi RUPS Perseroan Terbatas yang diselenggarakan melalui telekonferensi dimana para peserta rapat tidak harus berada di wilayah Republik Indonesia; dengan kata lain UU PT memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial yaitu berlakunya ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU PT bagi penyelenggaraan RUPS yang diadakan diluar wilayah Republik Indonesia, demikian dengan pertimbangan bahwa badan hukum perseroan tersebut didirikan menurut hukum Indonesia (tanpa harus memperhatikan kewarganegaraan pribadi dari para pemegang sahamnya), maka sebagai badan hukum (rechtpersoon) perseroan terbatas adalah subyek hukum yang mandiri (persona standi in yudicio) merupakan pendukung hak dan kewajiban yang setara dengan manusia/warga negara suatu negara.
(
Bandingkan dengan definisi Seorang Warga Negara dari Negara Amerika Serikat : To determine if a Limited Liability Company (L.L.C.) meets the requirements of a " citizen of the United States", its structure is measured against the definition of a United States corporation or association contained in Title 49, U.S.C., 40102(a)(15), which provides as follows: “'Citizen of the United States' means (a) an individual who is a citizen of the United States, or (b) a partnership each of whose partners is an individual who is a citizen of the United States, or (c) a corporation or association organized under the laws of the United States or a State, the District of Columbia, or a territory or possession of the United States, of which the president and at least two-thirds of the board of directors and other managing officers are citizens of the United States, and in which at least 75 percent of the voting interest is owned or controlled by persons that are citizens of the United States."
Dari segi ontologis maka keberadaan Pasal 77 UU ITE adalah perwujudan atau keberadaannya merupakan reaksi terhadap perubahan sosial yang mengikuti perkembangan teknologi..."

Kesimpulan :
Berdasarkan karakteristik ruang cyber dan hakekat teknologi informasi yang tidak kenal batas ruang ( borderless ), maka ketentuan dalam pasal 77 UU PT dapat diterapkan dalam suatu forum Rapat dimanapun para pemegang saham suatu PT tersebut berada.
Rapat yang demikian berdasarkan asas nasionalitas tetap dapat dipertanggung jawabkan sebagai suatu Rapat Umum Pemegang Saham yang sah ( tentu saja harus dipenuhi syarat-syarat lain dalam ayat 2-4 pasal 77 UU PT ).
Apabila ada pembaca yang hendak melengkapi atau bahkan mengkritisi, kami persilahkan, demi kemajuan kita bersama, terima kasih.
 
sumber : http://notarissby.blogspot.com/2010/02/asas-yurisdiksi-ektrateritorial-dalam.html diakses pada 8 desember 2012 pukul 12:48
Read More >>

Kamis, 06 Desember 2012

Kegundahanku



Sepintas hanya akan tergambar jika aku hanyalah seorang manusia biasa yang berbeda dengan manusia yang lain. Seandainya aku memiliki kesempatan untuk merubah dunia, aku akan mengambil bagianku tersebut. Namun kembali aku terbangun dan tersedar itu hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang sukar untuk menjadi nyata.

Setiap orang memiliki pilihannya, saat ini atau nanti. Tetapi mengapa aku selalu tak bisa memilih sendiri? Mengapa mesti ditentukan oleh orang lain yang sesungguhnya tidak tau kemauan aku itu apa? 

Aku tak dapat mengerti dengan keadaan ini. Ingin berubah tapi tak dapat melakukan apapun. Ingin ini, ingin itu. Tapi kesemuanya telah menjadi pilihan orang. Pikiranku dalam hal ini entah berasal darimana akupun tak mengetahuinya. Tapi setelah menjalani pendidikan selama kurang lebih 12 tahun membuatku kembali bertanya kepada diriku sendiri.

“indonesia adalah bangsa yang plural” begitulah kata pengajar-pengajarku.
Bhineka tunggal ika = berbeda-beda tapi satu jua

 Pancasila sudah terlupakan (menurutku)

Indonesia bangsa yang plural/beraneka ragam. Kenapa perbedaan itu ingin diseragamkan? Contohnya dari aspek pendidikan kita berbeda, tapi pada saat kesekolah mesti menggunakan seragam. Itu berawal dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah. Itu salah satu wujud pengingkaran kita pada pluralisme bangsa kita. Dengan alibi keindahan dan mencerminkan persatuan bangsa. 

Dari mana? 

Hal itu malah membuat pengkotak-kotakan, stratifikasi kelompok, dan sekarang berakibat perasaan solid dan persatuan itu hanya berlaku disekitar keseragaman tersebut saja. Dan akhirnya saat ini sering terjadi konflik antara kelompok-kelompok yang tercipta dari penyeragaman yang sebenarnya hanya penyeragaman sebagian kalangan. 

Tidakkah kita sadari jika justru perbedaan kita tersebut akan menjadi faktor utama pemersatu kita? Dengan kerja sama bukan membuat kelompok baru yang lebih besar. Tapi perbedaan itu akan saling menyempurnahkan kesatuan kita.

Trias politika di indonesia

Memang masih ada? Sistem kekuasaan dalam suatu negara dibagi atas 3 yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif

Legislatif menjalankan fungsinya sebagai pembuat peraturan. Eksekutif sebagai pelaksana peraturan Dan yudikatif sebagai pengawas pelaksanaan peraturan tersebut.

Sepertinya tidak berjalan dengan baik di indonesia khususnya. Contohnya pada dasarnya partai politik hanya sampai pada ranah eksekutif dan legislatif, sekarang telah merabat sampai pada ranah yudikatif. Hal ini tidak terlepas pada penentuan siapa yang berhak duduk di jabatan yudikatif adalah legislatif dan eksekutif.

Bagaimana nasib anak cucuku nanti? apakah mereka masih dapat merasakan jaminan dari para pemimpin negaraku nanti. :'(
semoga saja
Read More >>