Laman

Selasa, 17 April 2012

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN : Badan Perlindungan Konsumen Nasional


PENDAHULUAN
Resolusi perserikatan bangsa-bangsa nomor 39/248 tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (guidelines for consumer protection), yang salah satu meliputi kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Dari Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut terlihat bahwa kebebasan berorganisasi merupakan salah satu kepentingan dasar knsumen yang harus diperhatikan, selain perlindungan terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, perolehan informasi yang benar, ganti rugi dan pendidikan konsumen.
Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya  hak konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut meliputi upaya untuk :
a.    Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.    Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.   Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meninggkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen.

PEMBAHASAN
Salah satu badan yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di indonesia. BPKN ini berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan bertanggungjawab kepada presiden.
A.    Sejarah BPKN
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk sebagai upaya merespon dinamika dan kebutuhan perlindungan konsumen yang berkembang dengan cepat di masyarakat. Pembentukan berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang ditindaklanjuti dengan PP No. 57 Tahun 2001 tentang Tugas, Fungsi serta Keanggotaan BPKN. Oleh karena BPKN terbentuk karena adanya UUPK maka tentu saja sejarah BPKN tidak lepas dari sejarah UUPK itu sendiri.
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskah penelitian, pengkajian dan naskah akademik RUU (perlindungan konsumen). Sekedar untuk mengingat secara historis, beberapa di antara kegiatan tersebut adalah:


No.    Tanggal/Era    Lembaga    Kegiatan
1.    11 Mei 1973        Ibu Lasmidjah Hardi bersama dengan sejumlah tokoh diJakartamendirikan Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI)
2.    15-16 Desember 1975    Pusat Studi Hukum Dagang, FHUI    Mengadakan seminar tentang perlindungan konsumen
3.    1979/1980    Badan Pembinaan Hukum Nasional    Membuat penelitian  tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia
4.    1980/1981    Badan Pembinaan Hukum Nasional    Membuat naskah akademik perundang-undangan tentang perlindungan konsumen
5.    1981    YLKI    Membuat sumbangan pemikiran tentang Rancangan Undang-undangtentang Perlindungan Konsumen
6.    1992    Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan FHUI    Membuat Rancangan Undang-undangPerlindungan Konsumen
7.    1997    Departemen Perdagangan dan Perindustrian RI    Membuat Rancangan Undang-undangPerlindungan Konsumen
8.    1997        Indonesiadilanda krisis ekonomi
9.    1998    Presiden Suharto    Presiden Suharto atas nama Pemerintah Republik Indonesiamenandatangani  Letter of Intent (LoI)dengan IMF. Undang-undangPerlindungan Konsumen dan Undang-undangPersaingan Usaha masuk dalam Loi.
10.    Mei 1998        Terjadi pergantian kepemimpinan dari Presiden Suharto ke Presiden B.J. Habibie
11.    Desember 1998    DPR    DPR mengajukan Rancangan Undang-undangusul inisiatif tentang Perlindungan Konsumen
12.    20 April 1999    Presiden BJ Habibie    Menyetujui dan mengesahkan Undang-undangPerlindungan Konsumen

B.    Dasar Hukum BPKN
Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan terbentuknya Badan Perlindungan Konsumen antara lain:
a.    UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b.    Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen.

C.    Nama, Kedudukan, Fungsi dan Tugas
Pasal 31 :
“Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional”
Dalam pasal ini, dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di indonesia. Istilah “mengembangkan” yang digunakan di dalam rumusan pasal ini, menunjukkan bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk sebagai upaya untuk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal yang lain, khususnya tentang pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, pengaturan larangan-larangan bagi pelaku usaha di dalam menjalankan bisnisnya, pengaturan tanggung jawab pelaku usaha, dan pengaturan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen.
Pengaturan tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional memperlihatkan bentuk kesungguhan pembuatan undang-undang memberikan perlindungan kepada konsumen yang selama ini lebih banyak hanya dijadikan sebagai objek produksi barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha. Sebagai objek produksi yang dimaksud adalah karena berbagai produk yang dibuat lebih banyak berpihak pada kepentingan pelaku usaha dan mengabaikan kepentingan konsumen. Seperti produk yang tidak layak dikonsumsi, tidak memuat komposisi dalam label atau etiket barang yang dikeluarkan, tidak memenuhi standar mutu, dan sebagainya. Dengan adanya UUPK ini, produk barang dan/atau jasa seperti itu telah dilarang untuk ditawarkan, dipromosikan, diiklankan dan/atau diperdagangkan.

Pasal 32 :
“Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggungjawab kepada Presiden.”
Pasal ini memberikan kedudukan Badan Pelindungan Konsumen Nasional di ibu kota negara dan bertanggungjawab kepada Presiden. Konsumen Nasional tidak dapat diintervensi oleh pihak departemen Perdagangan dan Penindustrian di dalam pelaksanaan tugasnya. Kedudukannya independen dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Pasal 33 :
“Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.”
Pasal ini memperjelas peran Badan Perlindungan Konsumen Nasional terhadap pemberdayaan konsumen. Pasal ini bersifat umum, yang selanjutnya akan dijelaskan oleh pasal 34.
Fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia dapat trejadi dalam berbagai bentuk dan tidak terbatas pada penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.

Pasal 34 :
“(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas :
a.    Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.    Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.    Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.    Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.    Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.    Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.    Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional.”
Penjelasan :
Ayat (1) huruf e : “Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).”
Pengaturan fungsi Badan Perlindungan Konsumen Nasional secara rinci dalam Pasal 34 ini cukup menggembirakan, mengingat kedudukannya yang kuat, yaitu sebagai badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sebelumnya tugas ini, pada umumnya diemban oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Seperti diketahui YLKI bertujuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan dalam bidang  penelitian, bidang pendidikan, bidang penerbitan, warta konsumen, dan perpustakaan; bidang pengaduan; serta bidang umum dan keuangan.
Pengaturan tugas-tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang banyak memiliki persamaan dengan tujuan YLKI, bersesuaian dengan harapan yang mengemuka dalam kongres konsumen sedunia di Santiago. Sudaryatmo mengatakan peran lembaga konsumen dalam suatu negara sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Begitu pentingnya peran lembaga konsumen ini, pada kongres konsumen sedunia di Santiago, sempat mengemuka tentang bagaimana peran lembaga konsumen dalam memfasilitasi konsumen memperoleh keadilan. Untuk menjawab pertanyaan ini maka format yang ideal adalah bahwa perlindungan konsumen akan efektif jika secara simultan dilakukan dalam dua level/arus sekaligus, yaitu  dari arus bawah ada lembaga konsumen yang kuat dan tersosialisasi secara luas di masyarakat dan sekaligus secara representative dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen. Sebaliknya dari arus atas, ada bagian dalam struktur kekuasaan yang secara khusus mengurusi perlindungan konsumen. Semakin tinggi bagian tersebut semakin besar pula power yang dimiliki dalam melindungi kepentingan konsumen. Jadi efektif tidaknya perlindungan konsumen suatu negara tidak semata-mata tergantung pada lembaga konsumen, tapi juga kepedulian pemerintah, khususnya melalui institusi yang dibentuk untuk melindungi konsumen.
Berangkat dari pendapat tersebut, maka dapat diketahui bahwa kehadiran Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, merupakan bentuk perlindungan dari arus atas (“top-down”). Sementara arus bawah (“bottom-up”) dalam hal ini diperankan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang representative dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen. Termasuk kategori arus bawah adalah YLKI, yang masih akan disinggung dalam uraian Pasal 44 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Di Amerika Serikat semcam Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah “the Food and Drug Administration (FDA)” dan di Australia dikenal dengan nama “the Australian Competition and Consumer Commision (ACCC)” yang dibentuk pada tanggal 6 November 1995 yang merupakan penggabungan dua badan sebelumnya yaitu “the Trade Practices Commision dan the Prices Surveillance Authority”. Adapun fungsi utama yang FDA adalah sebagai badan kesehatan public yang bertugas melindungi konsumen sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang federal yang berkaitan dengan makanan, obat-obatan, kosmetika, dan kesehatan pada umumnya, termasuk pengawasan terhadap kualitas darah untuk keperluan transfusi.
Berbeda dengan BPKN (Indonesia), FDA tidak sekadar bertugas memberikan rekomendasi kepada Pemerintah. FDA secara aktif menjalankan fungsi pengawasannya, seperti menegur langsung perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar peraturan dan menetapkan standar pelabelan. Jika perusahaan itu tidak memperbaiki kesalahannya, FDA dapat membawa perkara tersebut ke pengadilan dan memaksa perusahaan menghentikan penjualan dan memusnahkan produk yang ada. Bahkan, sanksi pidana pun dapat dikenakan jika ditemukan adanya tindakan criminal di dalamnya. 
Sementar tugas utama ACCC adalah menjalankan fungsi yang diberikan oleh dua undang-undang, yaitu the Trade Practices Act 1974 dan the Prices Surveillance Act 1983. Di samping menjalankan tugas tambahan yang dibebankan oleh peraturan lain. Undang-undang ini melarang praktik curang dalam bisnis yang mencakup banyak hal, termasuk perlindungan terhadap para konsumen. ACCC adalah komisi satu-satunya di Australia yang diberi wewenang sangat besar, khususnya untuk beracara di pengadilan federal. ACCC dapat mengajukan gugatan ganti rugi, bahkan menjadi penuntut dalam kasus-kasus pidana tertentu. Komisi ini juga dapat menjadi perwakilan class action atau representative action yang menderita kerugian akibat praktik curang dalam bisnis.
Tampak jelas FDA dan ACCC memiliki persamaan, tetapi sangat jauh berbeda dengan BPKN yang terbatas hanya memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam jangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, sesuai hasil penelitian yang dilakukan, mendorong berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya dari berbagai pihak, dan melakukan survei tentang kebutuhan konsumen. BPKN di dalam UUPK tidak didesain seperti FDA dan ACCC, seperti memiliki hak memanggil dan melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran UUPK, khususnya berkenaan dengan hak-hak konsumen. UUPK menyerahkan tugas seperti ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.  Shidarta mengatakan idealnya BPKN berperan sebagai self-regulatory body yang bisa menelorkan self-regulation.
Menurut kami BPKN yang mengemban hanya sebagian kecil tugas FDA dan ACCC seperti diatur dalam UUPK adalah lebih baik. Untuk ukuran Indonesia sekarang ini yang berada dalam tahap awal memberi perhatian yang besar pada perlindungan konsumen, kurang baik bila peranan yang demikian besar seperti diemban FDA dan ACCC berada di satu tangan BPKN, guna menghindari kemungkinan penyalahgunaan wewenang dan dengan pembagian yang ada diharapkan setiap lembaga yang diserahi tugas lebih mampu melaksanakan tugasnya secara maksimal. Oleh karena itu, adanya pengaturan dalam UUPK yang membagi berbagai kewenangan kepada beberapa lembaga seperti kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), disamping BPKN adalah sudah tepat.


D.    Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35 :
(1)  Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, atau sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsure.
(2)  Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usuk Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)  Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4)  Ketua, wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.”
Penjelasan
Ayat (1) : “Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama”
Memperhatikan ketentuan pasal ini, tampak bahwa struktur Badan Perlindungan Konsumen Nasional, hanya meliputi, ketua, wakil ketua, dan anggota yang kesemuanya minimal berjumlah 15 (lima belas) orang dan maksimal 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsure.
Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPKN sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPK di atas, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional , ditentukan bahwa pengangkatannya dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
a.    Menteri mengajukan usul calon anggota BPKN yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan BPKN kepada Presiden;
b.    Calon anggota BPKN dikonsultasikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
c.    Dewan Perwakilan Rakyat memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap calon anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada Presiden; dan
d.    Presiden mengangkat anggota BPKN dari calon anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Tahapan pengangkatan tersebut sama dengan tahapan dalam pemberhentian anggota BPKN sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 dan penjelasannya, bahwa :
a.    Usul pemberhentian anggota BPKN yang tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan BPKN kepada Presiden diajukan oleh Menteri, dengan syarat bahwa sebelum  Menteri mengajukan usul pemberhentian, Menteri memberi kesempatan kepada anggota BPKN yang  akan diberhentikan untuk membela diri;
b.    Usul pemberhentian anggota BPKN tersebut dikonsuktasikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
c.    Dewan Perwakilan Rakyat memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap usul pemberhentian anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada Presiden; dan
d.    Presiden memberhentikan anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali untuk maksud ini Dewan Perwakilan Rakyat memberikan pertimbangan dan penilaian lain, yaitu tidak menyetujui pemberhentian anggota BPKN tersebut. Dalam hal ini, keputusan Presiden mengenai pengangkatan anggota BPKN sebelumnya tetap berlaku.
Apabila dihubungkan dengan syarat pengangkatan anggota BPKN yamg disebutkan sebelumnya, maka tampak syarat persetujuan DPR—sebagaimana terjadi dalam pemberhentian anggota BPKN—tidak dinyatakan  secara tegas. Menjadi persoalan, apabila pengangkatan tersebut tidak mendapat persetujuan pihak DPR. Walaupun demikian, persoalan ini dapat diselesaikan melalui teori penafsiran “a’contrario” yang ada, bahwa syarat persetujuan DPR hanya diperlukan dalam hal pemberhentian anggota BPKN, maka untuk pengangkatan anggota BPKN syarat tersebut tidak berlaku. Dengan demikian apa pun pendapat / penilaian DPR terhadap anggota BPKN yang diusulkan untuk diangkat, sepenuhnya berada di tangan Presiden.
Kemungkinan terjadinya penggantian anggota BPKN antar waktu juga ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001, yaitu Pasal 8 dan Penjelasannya menentukan bahwa:
1)    Anggota BPKN yang berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berkahir digantikan oleh anggota pengganti antar waktu. Pengganti yang dimaksud tidak harus dari unsure yang sama dengan anggota BPKN yang digantikan, tetapi tetap  memperhatikan keseimbangan jumlah wakil setiap unsur yang menjadi anggota BPKN.
2)    Pengangkatan anggota pengganti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan Pasal 6.
3)    Pemberhentian anggota pengganti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan Pasal 7.
Dalam penjelasan Umum Peraturan Pemerintah  No.57 Tahun 2001 dapat diketahui bahwa adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang kehidupan masyarakat, telah memungkinkan para pelaku usaha untuk memproduksi berbagai macam barang dan/atau jasa dan memperluas arus gerak transaksi yang ditawarkan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa berdasarkan kebutuhan. Namun di sisi lain, pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan konsumen untuk memilih dan menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa yang memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan masih perlu ditingkatkan. Dalam kondisi yang demikian konsumen kerap menjadi objek pelaku usaha, dan kelemahan konsumen tersebut dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha. Dalam hubungan ini sehingga perlunya peningkatan perlindungan konsumen melalui upaya pemberdayaan konsumen oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen.
Sebagai bahan perbandingan dalam jumlah keanggotaan BPKN yang hanya 25 orang sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UUPK, memang tidak dapat dipersamakan dengan “the Food and Drug Administration (FDA)” Amerika Serikat. FDA memiliki jumlah anggota sekitar 9.000 orang pegawai, yang bertugas memonitor produk-produk manufaktur, impor, transportasi, sampai pada tata cara penyimpanan dan penjualan produk. FDA juga memiliki sekitar 1.100 orang investigator dan inspektur yang wilayah pengawasannya mencakup hampir 95.000 macam kegiatan bisnis. Jumlah 1.100 tenaga ahli tersebut tersebar pada 157 kota di seluruh negara bagian. Kemudian FDA memiliki 40 laboratorium yang didukung tenaga ahli tersendiri, yang meliputi 900 orang ahli kimia dan 300 orang ahli mikrobiologis. 
Unsur-unsur keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang dimaksudkan oleh Pasal 35 UUPK, diatur dalam Pasal 36 UUPK.
Pasal 36 : “Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri dari unsur:
a.    pemerintah;
b.    pelaku usaha;
c.    lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d.    akademisi; dan
e.    tenaga ahli”
Penjelasan
Huruf d
“Akademisi adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota Perguruan Tinggi”
Huruf e
“Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen”
Pasal 36 huruf d tersebut, memberikan pemahaman bahwa akademisi adalah wakil dari Perguruan Tinggi dan bukan orang luar Perguruan Tinggi sekalipun yang bersangkutan memiliki pendidikan tinggi.
Unsur-unsur keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang diatur dalam pasal ini, berdasarkan Penjelasan Pasal 35 UUPK sebelumnya, jumlah wakil dari setiap unsur tersebut tidak harus sama. Pengaturan ini menurut kami sudah tepat, karena yang dipentingkan dalam hal ini bukan jumlah perwakilan masing-masing unsure akan tetapi pelaksanaan tugas dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional secara efektif, dan dapat dirasakan manfaatnya oleh konsumen.
Bagi kami hendaknya jumlah wakil dari unsur tenaga ahli yang harus lebih banyak, dan dapat disusul jumlah wakil dari unsur Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sementara tiga unsur lainnya yaitu wakil dari pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi adalah jumlah yang terkecil. Wakil dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat perlu jumlahnya banyak—setelah tenaga ahli – atas pertimbangan bahwa merekalah yang paling banyak diharapkan berperan mewakili kepentingan konsumen.
Pasal 37 : “Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a.    warga negara Republik Indonesia;
b.    berbadan sehat;
c.    berkelakuan baik;
d.    tidak pernah dihukum karena kejahatan
e.    memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f.    berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.”
Hal yang perlu dikomentari, adalah Pasal 37 huruf e tentang syarat keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen. Syarat ini seharusnya tidak boleh diberlakukan sama untuk semua unsur keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional, karena sudah jelas di antara setiap unsur tidak memiliki ukuran atau criteria yang sama, baik itu aspek pengetahuan maupun aspek pengalaman. Berbeda dengan 5 (lima) syarat lainnya, mutlak diberlakukan sama.
Pasal 38 : “Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a.    meninggal dunia;
b.    mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.    bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d.    sakit secara terus-menerus;
e.    berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f.    diberhentikan.”
Penjelasan
Huruf d
“Sakit secara terus-menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya”
Penjelasan ini sesungguhnya masih sangat kurang mengingat 1 minggu, 6 bulan, atau 1 tahun adalah sama di mana pada masa itu yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugasnya. Dengan hanya menetapkan criteria tidak mampu melaksanakan tugasnya, bersifat subjektif dan dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional menjadi tidak efektif. Oleh karena itu seharusnya ada criteria yang lebih konkrit, misalnya ditetapkan 3 (tiga) bulan secara terus-menerus. Penetapan waktu sakit secara terus-menerus ini tidak boleh terlalu lama, mengingat perkembangan industri dan perdagangan yang demikian cepat, teristimewa dalam era pasar bebas di mana produk luar negeri akan membanjiri pasar-pasar di Indonesia. Sehingga Badan Perlindungan Konsumen Nasional harus pula mengimbangi pergerakan itu di dalam pelaksanaan tugasnya.
Pasal 39 :
(1)    Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat;
(2)    Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional;
(3)    Fungsi, tugas, dan tata kerja secretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
    Kesekretariatan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Walaupun sekretaris tidak masuk struktur keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional, tetapi kehadirannya sangat penting. Oleh karena itu, seharusnya ada syarat yang ditetapkan untuk pengangkatan seorang notaris.
Pasal 40 :
“(1) apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat 1 untuk membantu pelaksanaan tugasnya;
(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.”
Penjelasan
Ayat 2 : “Yang dimaksud dengan keputusan ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.”
    Pada ketentuan Pasal ini, yang perlu dipertanyakan adalah cara pengambilan keputusan. Melalui penjelasan hanya disebutkan berdasarkan musyawarah. Bagaimana jika tidak tercapai kesepakatan bulat di antara anggota, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Sehingga hal ini, perlu mendapat penjelasan kembali melalui aturan pelaksanaannya, yang di dalamnya dapat ditetapkan berdasarkan suara terbanyak sekalipun itu dengan mayoritas sederhana.
Menyangkut perlu atau tidaknya pembentukan perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I, sebenarnya sangat perlu teristimewa karena demikian luasnya kepulauan Indonesia. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang tidak seluas wilayah Indonesia, memiliki FDA –semacam BPKN—dengan jumlah tenaga ahli sebanyak 1.100 investigator dan inspektur untuk melakukan pengawasan yang mencakup hampir 95.000 macam kegiatan bisnis.
Tenaga-tenaga ahli yang dimaksud, tersebar di 157 kota di seluruh negara bagian. Diperkuat dari sejumlah tenaga ahli tersebut, setiap tahun berhasil mengunjungi lebih dari 15.000 fasilitas bisnis antara lain, mengambil sampel-sampel produk domestic dan impor. Sekitar 80.000 sampel berhasil dikumpulkan untuk diteliti pada 40 laboratorium – yang didukung oleh 2.100 tenaga ahli dengan rincian 900 orang ahli kimia dan 300 orang ahli mikrobiologis dalam laboratorium tersebut.   Jadi tampak dalam hal ini, bahwa di Amerika ada penyebaran tenaga ahli di 157 kota di seluruh negara bagian guna mengefektifkan tugas FDA sebagaimana dikemukakan sebelumnya sangat luas dibanding tugas BPKN yang diatur dalam UUPK.
Pasal 41 :
“Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Badan Perlindungan Konsumen Nasional”.
Penjelasan
“Yang dimaksud dengan keputusan ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota”.
Komentar tentang ketentuan pasal ini, sama menyangkut cara pengambilan keputusan dalam musyawarah anggota, yang ternyata tidak dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2001.
Pasal 42 :
“Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perliindungan Konsumen Nasional diberikan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ketentuan pasal ini sudah seharusnya, karena bagaimana pun dalam pelaksanaan tugas pihak Badan Perlindungan Konsumen Nasional akan memerlukan cukup banyak biaya. Hal ini membedakan dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang merupakan partner BPKN dari arus bawah yang banyak diserahi tugas melakukan pengawasan dan bahkan penelitian. Menurut kami agar LPKSM dapat efektif menjalankan tugas yang dibebankan oleh undang-undang ini, perlu dipertimbangkan bantuan pembiayaan. Sudah jelas bantuan yang dimaksud diberikan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif melaksanakan tugas berdasarkan laporan yang disusun sesuai hasil pengawasan dan penelitian yang dilakukan. Walaupun demikian, konsep pemikiran ini masih perlu ditelaah kembali secara lebih mendalam, oleh karena jangan sampai bantuan pembiayaan yang dimaksud justru menggangu independensi. Bagi kami bantuan pembiayaan memang penting, akan tetapi independensi LPKSM jauh lebih penting daripada sekadar bantuan biaya.
Pasal 43 :
“Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah”
Ketentuan pasal ini sangat penting kehadirannya, untuk menjelaskan dan/atau menjabarkan lebih lanjut ketentuan pasal tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Hanya saja dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2001 sebagaimana terlihat dalam komentar kami sebelumnya, tampak masih ada pasal-pasal yang belum mendapat penjelasan dan/atau penjabaran lebih lanjut.

E.    PROFIL BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL (BPKN)
Keanggotaan BPKN Periode I masa jabatan 2004-2007 berjumlah 17 orang, yang terbentuk berdasarkan Keppres RI No. 150/M tahun 2004 tentang Pengangkatan Anggota BPKN. Dengan semangat baru, terbentuk 20 Anggota BPKN periode II masa jabatan 2009-2012, yang mewakili pemerintah, akademisi, tenaga ahli dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80/P Tahun 2009 tanggal 11 Oktober 2009.
Visi BPKN
Pembangunan Perlindungan konsumen di Indonesia memiliki urgensi nasional yang tinggi sehingga BPKN berupaya mewujudkan visi untuk “Menjadi Lembaga Terdepan Bagi Terwujudnya Konsumen yang Bermartabat dan Pelaku Usaha yang Bertanggungjawab.”
Misi BPKN
Dengan visi tersebut, BPKN mengemban misi:
a.    Memperkuat landasan hukum dan kerangka kebijakan perlindungan konsumen nasional.
b.    Memperkuat akses jalur penyelesaian sengketa perlindungan konsumen.
c.    Memperluas akses informasi perlindungan konsumen serta mengembangkan edukasi dan informasi konsumen.
Strategi Kebijakan BPKN
Dalam rangka mencapai visi serat sejalan dengan fungsi dan tugas BPKN, strategi kebijakan yang diterapkan adalah sebagai berikut:
1.    Meningkatkan edukasi kepada dunia usaha dan konsumen;
BPKN mempunyai posisi yang sangat baik untuk mendorong pengembangan program edukasi perlindungan konsumen, baik bagi konsumen dan pelaku usaha. Strategi ini merupakan alat utama sistem pembangunan perlindungan konsumen nasional yang bekerjasama dengan lembaga lain di luar BPKN sesaui kewenangannya.
2.    Membangun sistem dan jaringan informasi perlindungan konsumen nasional yang terpercaya;
Strategi ini didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan masyarakat ke masa depan tidak dapat lagi dilepaskan dari ketersediaan dan mobilitas informasi. Di tengah gencarnya dinamika pasar dan persaingan, BPKN memandang perlu bagi konsumen untuk memiliki akses yang dapat dipercaya dalam memperoleh informasi perlindungan konsumen.
3.    Mengembangkan perlindungan konsumen yang berwawasan lingkungan;
Strategi ini untuk membangun dan meningkatkan kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat konsumen dan pelaku usaha dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan yang mendukung keberlanjutan, kenyamanan, dan kualitas kehidupan.
4.    Meningkatkan peran dan kapasitas kelembagaan perlindungan konsumen (LPKSM dan BPSK) yang berdaya guna;
Upaya pemberdayaan konsumen tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberdayaan lembaga-lembaga yang memfokuskan dirinya pada upaya pemberdayaan konsumen. Dalam konteks ini lembaga-lembaga tersebut perlu meningkatkan kemampuannya dalam berbagai dimensi pemberdayaan konsumen, baik dalam kerangka mandiri maupun dengan dukungan pemerintah
5.    Meningkatkan sumber daya dan kemampuan nasional dalam pemantauan dan pengendalian lalu lintas barang dan jasa.
Upaya membangun pemberdayaan konsumen dan juga dunia internasionalperlu memperhatikan keterkaitan antara perlindungan konsumen dengan lalu lintas barang/jasa terutama yang beredar di Indonesia. Kemampuan untuk memeriksa, mengidentifikasi dan pengaturan distribusi barang dan jasa terutama yang beresiko tinggi menjadi mutlak dalam upaya bersama mencapai tujuan dan sasaran perlindungan konsumen.
Struktur Organisasi
Tata kerja BPKN periode II 2009-2012 serta mekanismenya dituangkan dalam Keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional No.06/BPKN/Kep/12/2009 tentang Kedudukan, Fungsi, Tugas, Organisasi dan Tata Kerja Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Hak dan Kewajiban anggota dan pengaturan rapat juga menjadi salah satu materi dalam tata kerja tersebut. Dalam rangka memberikan saran dan pertimbangan kebijakan kepada pemerintah tentang pengembangan perlindungan konsumen di Indonesia yang lebih focus dan terarah sesuai fungsi BPKN, dibentuk 4 (empat) Komisi yang masing-masing bertugas sebagai berikut:
Komisi I: Komisi Penelitian dan Pengembangan
Bertugas meneliti dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen, melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang berkaitan dengan keselamatan konsumen, melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa.
Komisi II: Komisi Komunikasi dan Edukasi
Bertugas menyebarluaskan informasi melalui media masa maupun elektronik mengenai perlindungan konsumen, memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen dan melaksanakan pendidikan konsumen kepada masyarakat.
Komisi III: Komisi Pengaduan dan Penanganan Kasus
Bertugas menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dan penanganan kasus yang diterima dari masyarakat, LPKSM atau pelaku usaha.
Komisi IV: Komisi Kerjasama
Bertugas menjalin hubungan kerjasama dengan departemen, kementrian negara, instansi terkait, organisasi non pemerintah, lembaga konsumen baik nasional maupun internsional maupun internasional dan organisasi masyarakat sipil lainnya serta melakukan kegiatan guna mendorong berkembangnya LPKSM.
Nilai Organisasi BPKN
1.    Senantiasa profesional (professional) dalam berfikir dan bertindak dalam melaksanakan tugas organisasi;
2.    Mengedepankan rasa empati (empathy) dengan memahami dan berupaya mencarikan penyelesaian masalah;
3.    Menghargai (respect) terhadap pendapat orang lain baik dalam organisasi maupun mitra kerja dan organisasi secara keseluruhan;
4.    Memiliki integritas (integrity) terhadap diri sendiri, mitra kerja dan organisasi secara keseluruhan;
5.    Mengembangkan daya inovasi (inovatif) dan daya kritis terhadap berbagai isu perlindungan konsumen;
6.    Mengedepankan kerjasama (teamwork) tanpa mengabaikan profesionalisme individu.
F.    Lembaga Konsumen sebelum BPKN (YLKI)
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan sebuah organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan independen yang didirikan  pada tanggal 11 Mei 1973. Keberadaan YLKI diarahkan pada usaha meningkatkan kepedulian kritis konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungannya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia disingkat YLKI adalah organisasi non-pemerintah dan nirlaba yang didirikan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1973. Tujuan berdirinya YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.
Pada awalnya, YLKI berdiri karena keprihatinan sekelompok ibu-ibu akan kegemaran konsumen Indonesia pada waktu itu dalam mengkonsumsi produk luar negeri. Terdorong oleh keinginan agar produk dalam negeri mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia maka para pendiri YLKI tersebut menyelenggarakan aksi promosi berbagai jenis hasil industri dalam negeri.
Sejarah Kegiatan YLKI
Pendirian YLKI : Langkah Awal Menuju Gerakan Konsumen
Pendirian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) didasari pada perhatian atas kelangkaan produk nasional yang berkualitas dan kecenderungan memilih dan berbelanja produk impor di era tahun 70an, serta perhatian terhadap perlunya pemberdayaan bangsa dan produksi dalam negeri. Kelembagaannya disahkan melalui Akte Notaris Loemban Tobing,S.H pada tanggal 11 Mei 1973.
YLKI diprakarsai oleh figur-figur yang telah ikut berjasa dalam masa perjuangan kemerdekaan, sebagian besar diantaranya adalah para tokoh perempuan pejuang seperti Ibu Sujono Prawirabisma, Ibu SK Trimurti, Ibu Soemarno serta Ibu Lasmidjah Hardi (yang kemudian menjadi Ketua YLKI pertama). Keberadaan YLKI diharapkan tidak hanya dapat mendorong penggunaan produk dalam negeri ditengah maraknya keberadaan produk impor, tetapi juga memperkuat posisi konsumen.
Berbeda dengan gerakan konsumen di negara-negara maju, gerakan konsumen di Indonesia tidak hanya berfokus pada kepentingan konsumen semata. Sebagai suatu negara berkembang, dimana produsen juga dianggap masih berada pada tahap pertumbuhan, diperlukan sudut pandang yang seimbang untuk menilai kepentingan konsumen dan produsen.
Dukungan Presiden dan Gubernur Jakarta pada masa itu merupakan pendorong bagi keterlibatan lembaga Pemerintah lainnya dalam kegiatan YLKI.
YLKI bergabung dengan Organisasi Konsumen Internasional (International Organization of Consumer’s Union – IOCU) sejak 15 Maret 1974, dan telah menjadi Anggota Penuh dari Organisasi yang sekarang dikenal sebagai Consumers International (CI).
Masa-Masa Penggalangan Kekuatan
Pertumbuhan ekonomi nasional pada era tahun 70an sampai awal tahun 80an diwarnai dengan perkembangan yang pesat dalam sektor industri, tetapi belum disertai dengan peningkatan kualitas barang dan jasa. Dalam masa kini, YLKI memusatkan kegiatannya untuk melakukan pengawasan atas kualitas berbagai barang dan jasa yang beredar di pasaran, yang sebagian besar masih belum memenuhi standar. Berbagai masukan yang diberikan YLKI bagi Pelaku Usaha dan Pemerintah sangat penting bagi perbaikan dan penetapan standar mutu.
Selama dekade 80an, YLKI mengembangkan kesadaran baru atas pentingnya melibatkan masyarakat secara langsung dalam upaya memperkuat jaringan yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan perlindungan konsumen. Pada periode ini YLKI mengerahkan segala upayanya untuk pembangunan jaringan, pengembangan institusi serta pemahaman ideologi gerakan konsumen /konsumerisme. Selama dekade ini, kekuatan YLKI juga difokuskan untuk mendesakkan sebuah kebijakan strategis dan mendasar agar negeri ini mempunyai Undang-undang Perlindungan konsumen.
Pada dekade 90an, ketika Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menjadi hukum positif di Indonesia, agenda terbesar YLKI adalah agar UUPK mampu menjadi produk hukum yang efektif untuk melindungi konsumen. Periode ini juga merupakan masa di mana YLKI menjalankan peranan penting dalam pengawasan atas efek negatif dari pemberlakuan perdagangan bebas dalam era globalisasi, antara lain dalam menghadapi privatisasi berbagai komoditas publik yang berpotensi menjadi instrumen efektif untuk mereduksi hak-hak konsumen.
Latar Belakang dan Tujuan
Berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau dikenal dengan YLKI pada 11 Mei 1973 berawal dari kepedulian sekelompok masyarakat akan penggunaan produk-produk dalam negeri serta bagaimana melindunginya. Sedangkan tujuannya adalah memberi bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen menuju kesejahteraan keluarga.
Bidang dan Bentuk Kegiatan
Bidang kegiatan utama lembaga ini adalah perlindungan konsumen, di samping bidang lainnya seperti kesehatan, air bersih dan sanitasi, gender, dan hukum sebagai penunjangnya. Bidang-bidang ini dilaksanakan terutama dalam bentuk studi, penelitian, survai, pendidikan dan penerbitan, advokasi, seminar, pemberdayaan masyarakat konsumen, dan pengembangan dan pendampingan masyarakat.
Program: Program-program yang telah dilakukan lembaga adalah advokasi, penerbitan majalah dan pemberdayaan perempuan.
Publikasi: Menerbitkan majalah bulanan Warta Konsumen
Alamat/Address: Jl. Pancoran Barat VII/1, Durentiga – Jakarta Selatan 12760
Telp.: (021)  7981858
Fax.: (021) 7981038
E-mail: konsumen@rad.net.id

Visi dan Misi YLKI
Visi
Visi YLKI adalah tatanan masyarakay yang adil dan konsumen berani memperjuangkan hak-haknya secara individual dan berkelompok.
Misi
(1)    Melakukan pengawasan dan bertindak sebagai pembela konsumen.
(2)    Memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok konsumen
(3)    Mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pengawas kebijakan publik
(4)    Mengantisipasi kebijakan global yang berdampak pada konsumen.

Nilai
Nilai-nilai dasar yang dianut YLKI adalah non profit, non partisan, tidak diskriminatif, demokratis, keadilan sosial, keadilan gender, keadilan antar generasi, hak asasi, solidaritas konsumen, dan independen.
Strategi dan Kegiatan YLKI
Advokasi
Mempengaruhi para pengambil keputusan di sektor industri dan pemerintahan agar memenuhi kewajibannya terhadap konsumen, pada tingkat lokal dan nasional.
Penggalangan Solidaritas
Meningkatkan kepedulian kritis konsumen melalui penggalangan solidaritas antar konsumen, serta melalui prasarana kegiatan berbagai kelompok konsumen.
Pengembangan Jaringan
Memperkuat kerjasama antar organisasi konsumen dan juga dengan organisasi kemasyarakatan lainnya pada tingkat lokal, nasional, regional dan internasional.
Penyebaran Informasi yang Tidak Memihak
Mengimbangi informasi yang telah ada dengan informasi dan data objektif lainnya yang diperoleh berdasarkan kajian dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

G.    ANALISIS
Dibandingkan dengan lembaga negara atau komisi negara yang lainnya seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atau Komnas HAM, keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) relatif kurang dikenal masyarakat. Dari indikator liputan media, nama KPPU jauh lebih sering muncul di media dibandingkan dengan BPKN.
Padahal ditengah-tengah marak dan massive-nya pelanggaran hak-hak konsumen,  keberadaan BPKN seharusnya bisa unjuk gigi sebagai garda depan pembela konsumen. Tidak hanya karena BPKN adalah lembaga negara yang kedudukannya dijamin oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Tapi dari sisi pendanaan juga mendapat kucuran dana pemerintah yang tidak kecil, hampir Rp 10 milyar pertahun. Salah satu agenda BPKN yang baru adalah menuntaskan revisi UUPK. Di tengah kompleksitas masalah perlindungan, rasanya terlalu kecil apabila revisi UUPK menjadi agenda utama anggota BPKN baru. Ada sejumlah agenda yang jauh lebih penting dan strategis yang bisa dilakukan BPKN.
Pertama, mengacu pasal 29 ayat (1) UUPK, bahwa Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selanjunya dalam ayat (2) dijelaskan, Pembinaan oleh Pemerintah dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Sepuluh tahun sejak UUPK diundangkan, baru satu kementrian yang telah menindak-lanjuti amanat pasal 29 UUPK, yaitu Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  dalam bentuk dikeluarkan PerMen ESDM No.19 / 2008  tentang Pedoman dan tatacara perlindungan konsumen pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi. BPKN seharusnya bisa mendesak kementrian / departemen yang belum menindaklanjuti amanat pasal 29 UUPK dalam bentuk membuat pedoman teknis perlindungan konsumen, sebagaimana sudah dilakukan kementrian ESDM.
Kedua, sampai saat ini upaya perlindungan konsumen masih terpecah-pecah, belum ada sinkronisasi antara pelaku usaha, pemerintah dan (lembaga) konsumen. Untuk itu perlu ada blueprint perlindungan konsumen dalam bentuk Arsitektur Perlindungan Konsumen Indonesia (APKI). Dalam APKI, selain dijelaskan pilar-pilar dalam perlindungan konsumen, juga ada uraian tentang hal yang harus dilakukan masing-masing pilar dalam upaya perlindungan konsumen. APKI ini yang menjadi acuan semua pihak dalam upaya menciptakan perlindungan konsumen di Indonesia.
Ketiga, BPKN menjadi pusat aduan konsumen Nasional. Salah satu masalah terbesar perlindungan konsumen di Indonesia adalah masih terbatasnya acces point pengaduan konsumen. BPKN seharusnya bisa menjadi pusat aduan konsumen nasional. Benar bahwa BPKN tidak punya kewenangan untuk menyelesaikan sengketa konsumen, karena itu menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Namun demikian, tidak semua aduan konsumen menuntut adanya penyelesaian, tetapi banyak konsumen yang ingin agar suaranya didengar. Mencari pihak yang mau mendengar keluhan konsumen di Indonesia bukan perkara yang mudah. Dengan sumber aduan konsumen tersebut, untuk selanjutnya BPKN menyusun rekomendasi kebijakan, yang tentu saja berisi solusi terhadap berbagai persoalan konsumen, untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti.
Keempat, sudah waktunya BPKN membenahi aspek transparansi dalam pengelolaan lembaga. Terus terang selama ini tidak banyak yang publik ketahui, berapa anggaran BPKN. Dari anggaran yang ada, berapa persen dialokasikan untuk biaya program dan berapa persen untuk biaya personil. Transparansi BPKN mutlak perlu dilakukan, tidak saja karena perintah UU Kebebasan Informasi Publik. Tetapi juga hanya dengan transparansi kepercayaan publik akan tumbuh. Kita tunggu kiprah BPKN.

DAFTAR PUSTAKA
1)    Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. (Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2001).
2)    Ahmadi Miru & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004).
3)    http://www.bpkn.go.id
4)    Wulan Sari Dewi, Putri. Tesis-Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan UU No.8/1999. (Semarang: Universitas Diponegoro, 2009).
5)    UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
6)    PP No. 57/2001 tentang BPKN
7)    Profil Badan Perlindungan Konsumen Nasional – Kesetaraan dan Keadilan
8)    http://www.ylki.or.id


*)Makalah yang disusun pada mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen di Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. pada tahun ajaran 2012 oleh : Jeri Wahyuddin, Luspina Dwi Aryani, Andhini Iasha Amala Bachtiar, Fenny Sulistyawati, Maulana Ichsan Setiadi, Pita Permatasari, dan Naomi Nasaria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar