Sejak berkembanganya teknologi informasi
 yang ditandai perkembangan perangkat-perangkat pengolah informasi 
seperti komputer, maka sistem jaringan komunikasi menjadi semacam 
infrastruktur bagi teknologi informasi. Hubungan bisnis melalui 
komunikasi konvensional via telepon misalnya, dirasakan sudah tidak lagi
 memenuhi kebutuhan dalam dunia perdagangan global. Internet banyak 
digunakan. Bahkan tidak hanya informasi-informasi yang sifatnya 
ekonomis, informasi sebagai entertainment juga menjadi bagian jaringan 
komunikasi yang global ini.
Konvergensi antara telekomunikasi dan 
informatika kemudian menghasilkan sebuah media baru yang oleh 
penggunanya disebut-sebut sebagai cyberspace, suatu dunia maya yang 
bergerak tanpa batas. Semua informasi yang merupakan hasil ekspresi 
pikiran dan gagasan manusia tertuang di dalamnya. Seolah setiap orang 
dapat menuangkan dengan bebas setiap ide dan gagasannya yang merupakan 
manifestasi dari prinsip kebebasan mengemukakan pendapat.
Istilah cyberspace sendiri mulai popular
 dalam sebuah novel science fiction karya William Gibson, Neuromancer. 
Cyberspace itu menggambarkan suatu halusinasi adanya alam lain saat 
bertemunya teknologi telekomunikasi dan informasi. Keberadaan alam lain 
yang global ini seolah memberi kesempatan kepada penggunanya untuk 
mengekspresikan kebebasan yang sebebas-bebasnya atas dasar kebebasan 
mengemukakan pendapat. Mereka cenderung tidak mengindahkan norma-norma 
yang berlaku sehari-hari di masyarakat.
Benarkah cyberspace adalah dunia maya 
yang tanpa batas? Sepertinya agak sulit menerima kebenaran yang 
demikian. Menurut Edmon Makarim SH, SKom., dalam bukunya Kompilasi Hukum
 Telematika, dikemukakan bahwa substansi dari cyberspace sebenarnya 
adalah keberadaan informasi dan komunikasi itu sendiri yang dilakukan 
secara elektronik dalam bentuk visualisasi tatap muka yang interaktif. 
Kemudian, virtual communication ini disadari merupakan virtual reality 
yang sering disalahartikan sebagai alam maya, padahal keberadaan dari 
sistem elektronik itu sendiri adalah konkret karena bentuk komunikasi 
virtual tersebut sebenarnya dilakukan dengan cara representasi informasi
 digital (0 dan 1) yang bersifat diskrit.
Informasi yang disampaikan melalui dunia
 maya (Virtual communication) itu tidak lepas dari virtual reality, akan
 ada semacam feedback dari virtual reality terhadap virtual 
communication, misalnya karena merugikan atau mengganggu kepentingan 
umum. Menunjukkan gambar porno seorang artis terkenal yang hanya 
merupakan manipulasi gambar di internet, tentu bukan pekerjaan sulit 
bagi mereka yang memang menguasai teknologi informasi. Tapi dampaknya 
dalam virtual reality, nama baik artis yang bersangkutan akan tercemar. 
Jadi keduanya pasti akan bersinggungan.
Persinggungan ini disadari memang banyak
 menimbulkan kerugian, baik bagi personal maupun kepentingan publik. 
Untuk itu, keberadaannya perlu diselaraskan dengan kehidupan manusia, 
perlu dibatasi oleh seperangkat peraturan-peraturan. Namun di sisi lain,
 jangan sampai peraturan-peraturan tersebut membelenggu juga kebebasan 
orang untuk mendapatkan informasi, kebebasan orang untuk mengemukakan 
pendapat.
Dalam ilmu hukum, istilah cyberspace 
sering disebut sebagai telematika. Jadi, hukum yang dikembangkanpun 
dinamakan hukum telematika. Digunakannya istilah telematika karena lebih
 menunjukkan suatu sistem elektronik yang lahir dari hasil perkembangan 
dan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika. Sementara istilah
 cyberspace lebih menunjukkan halusinasi alam virtualnya saja.
Telematika melihat bahwa konvergensi 
telekomunikasi, media dan informatika sebagai suatu perkembangan dalam 
teknologi perlu mendapat pengaturan-pengaturan. Aturan-aturan tersebut, 
sebagai mana layaknya tujuan keberadaan hukum, berguna untuk melakukan 
pengendalian sosial di masyarakat, mengharmoniskan interaksi antara 
sesama anggota masyarakat dan mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian,
 hukum telematika dapat mengendalikan masyarakat dalam menilai arti 
kebebasan mengemukakan pendapat dalam cyberspace, agar konsep kebebasan 
mengemukakan pendapat yang selama ini dijunjung tinggi tidak sampai 
merugikan kepentingan pihak lain yang tidak bersalah
Namun, telah disadari oleh banyak 
kalangan, termasuk pakar hukum dan teknologi informasi, bahwa terdapat 
kesenjangan antara hukum dan teknologi. Hukum selalu tertinggal oleh 
dinamika teknologi. Perkembangan hukum cenderung memakan waktu yang 
lama, hal ini mungkin karena sifatnya yang kaku dan terlalu birokratis. 
Sementara, dinamika teknologi berkembang begitu cepat tanpa batas-batas 
kaku yang birokratis seperti hukum. Ketimpangan ini sering menimbulkan 
ruang-ruang kosong dalam hukum yang dapat menimbulkan kebingungan dalam 
masyarakat.
Ketimpangan ini sudah selayaknya harus 
dibayar agar suatu informasi menjadi lebih efektif di tengah-tengah 
masyarakat secara kualitatif. Kajian-kajian teknologi informasi di 
tengah-tengah masyarakat informasi yang mulai berkembang harus diiringi 
pula oleh kajian hukum terhadap informasi agar keduanya dapat selaras. 
Bukankah kita juga ingin jadi masyarakat yang maju? (Dadang Sukandar/Sinar Harapan)
Komentar
Posting Komentar