Laman

Sabtu, 21 September 2013

KHAS DAN "AMM




KHAS
Pegertiannya adalah “suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” (Al-Bazdawi).
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Menurut Hanafiyah, sesungguhnya lafaz khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri.
Contoh, dalam Al-qur’an “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”. Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam sholat itu sebagai mana lafaz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Ruku’ yang diperintahkan itu merupakan fardhu sholat tanpa tuma’minah, sebaliknya ad hadis yang memerintahkan tuma’minah, “Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat.” Menurut mereka bila tuma’minah itu syarat sah sholat, berarti merupakan penambahan atas lafazh kkas Al-Qur’an yang jelas. Sehingga tuma’minah tidak fardu. Semetara menurut Golongan Syafi’i, tuma’minah yang disyaratkan oleh hadis ini merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.
Lafas Khas kadang-kadang berbentuk mutlaq (tanpa dibatasi oleh suatu syarat qayyid apapun), muqayyad (dibatasi oleh qayyid), amr (berbentuk perintah), dan nahy (berbentuk larangan).
F. ‘AMM
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah), “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali), “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi).
Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan, oleh karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena dalam Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar hadis:
“Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”. Hadits ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya sunat mu’akadah saja.
Sedangkan Imam Malik, tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat mentakhsis lafazh ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar Ahad. Seperti :
“Dan Allah menghalakan (menikah) selain itu (yang telah disebut)” ditakhsis dengan hadits “Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”
Khabar Ahad yang dapat digunakan untuk mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an menurut Imam Malik adalah Khabar Ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.
Menurut Hanafiyah, bila lafazh ‘amm dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khas dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep masakh mansukh.
 
Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah suatu lafazh yang menunjuk hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya, sedangkan muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
1. Bentuk-bentuk mutlaq dan muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
ü Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
ü Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
ü Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
ü Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
ü Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
2. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat baik hukum lafazh mutlaq maupun hukum lafazh muqayyad itu wajib diamalkan kemutlakannya maupun kemuqoyyadannya. Namun dari lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
ü Hukum dan sebabnya sama, disini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
ü Hukum dan sebabnya berbeda, dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing- masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
ü Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
3. Hal- hal yang Diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad
ü Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq Kepada muqayyad. Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafazh mutlaq dan muqayyad.Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
ü Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya ber-beda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut ulama Hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyab, melainkan masing-masingnya berlakusesuai dengan sifatnya.Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa mutlaq kepada muqayyab secara mutlak. Namun menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlak dibawa pada muqayyab apabila ada illat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 : II : 112)
 
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Mantuq Dan Mafhum
Mantuk adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (tersurat). sedangkan mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik arti (tersirat).
Contoh mafhum muwafaqoh adalah larangan memukul orang tua dan larangan berkata ah (QS. al-Isra: 23)
Pembagian Lafazh Ditinjau Dari Segi Makna

Para Usuliyun menetapkan bahwa perhubungan lafazh dengan makna mempunyai segi yang harus dibahas. Mereka membagi lafazh dalam hubungannya dengan makna kapada beberapa bagian.
1. Ditinjau dari segi makna yang dipakai makna yang diciptakan untuknya lafazh itu dibagi menjadi 3 bagian. Yakni :

A. Khas
Yang disebut lafazh khas ialah lafazh-lafazh yang diciptakan untuk memberi pengertian satu-satuan tertentu, baik menunjuk pribadi seseorang, seperti lafazh Muhammad, atau menunjuk macam sesuatu, seperti lafazh insanun (manusia) dan rojulan (orang laki-laki), atau menunjuk jenis sesuatu, seperti lafazh hayawanun (hewan), atau menunjuk benda kongkrit seperti contoh-contoh diatas, atau menunjuk benda yang abstrak, seperti lafazh ilmun (ilmu) dan jahlun (kebodohan) atau menunjukkan arti kepada satu kesatuan itu secara hakiki, seperti dalam contoh-contoh tersebut diatas, atau secara i’tibari (anggapan) seperti lafazh-lafazh yang diciptakan untuk memberikan pengertian banyak yang terbatas, seperti lafazh tsalatsatun (tiga), mi’ataun (seratus), jam’un (seluruhnya) dan fariqun (sekelompok).

a) Hukum lafazh khash
Lafazh khash dalam nash syara’ adalah menunjuk kepada dalalah qath’iyah terhadap ma’na khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjuknya adalah qoth’i, bukan zhanni, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada ma’na yang lain. Misalnya lafazh ”tsalasah” dalam firman Tuhan:
Suray Al-Baqarah: 196
Artinya: ....”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji...[al-Baqarah : 196]

Adalah lafazh khash, yang tidak mungkin untuk diartikan kurang atau lebih dari ma’na yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga hari. Oleh karna itu dalalah ma’nanya adalah qath’iyah (pasti) dan dalalah hukumnya pun qoth’i.
b) Sifat-sifat lafazh khosh
Lafazh khash itu kadang-kadang datang secara mutlaq, tanpa diikuti oleh sesuatu syarat apapun, kadang-kadang muqoyyad, yakni dibatasi dengan suatu syarat, kadang-kadang datang dengan shighat (bentuk) amr, yakni tuntutan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan kadang-kadang dengan shighat nahi, yakni melarang mengerjakan sesuatu perbuatan. Dengan demikian pembahasan tentang khash ini mencakup lafazh mutlaq, muqayyad, amr dan nahi.

B. Aam
Lafazh amm ialah suatu lafadzh yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan suatau ma’na yang dapat mencakup seluruh satuan-satauan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Misalnya lafazh ”kullu ’aqdin” dalam kaidah para fuqoha:
Setiap perikatan untuk sahnya disyaratkan adanya kecakapan dua orang yang mengadakan perikatan adalah lafazh ’aam yang menunjukan kepada apa saja yang disebut perikatan tanpa terbatas pada perikatan tertentu. Juga lafazh ”man alqa” dalam haditss yang berbunyi:

Barang siapa meletakkan senjatanya, maka ia adalah aman.

Adalah lafazh ”amm” yang menunjukkan seluruh perseorangan yang meletakkan senjata, tanpa terbatas pada perseorangan tertentu.
Atas dasar yang demikian itu, maka dapat diambil ketetapan bahwa keumuman lafazh ’amm itu didapat dari sifat lafazh itu sendiri. Suatu lafazh apabila menunjuk kepada arti satuan yang tunggal, seperti lafazh ”rojulun”(seorang laki-laki) atau menunjukka kualitas satuan yang terbatas, seperti sekelompok dan seratus bukan termasuk lafazh ’amm, tetapi termasuk lafazh khash yang mutlak. Dengan demikian dapat ditarik perbedaan antara lafazh ’amm dan lafazh khash yang mutlak sebagai berikut:
a. Lafazh ’amm itu menunjuk kepada seluruh satuan dari satuan-satuan yang ada, sedangkan lafazh khash yang mutlak menunjukkan kepada satuan itu saja, tidak seluruh satuan.
b. Lafazh ’amm dapat mencakup sekaligus seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya. Sedangkan lafazh khash mutlak tidak mencakup seluruh satuan, selain hanya satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
 Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:228)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
 Takhsis adalah mengecualikan sebagian dari lafad umum (amm). Seperti halnya ayat perintah haji. Haji diwajibkan bagi seluruh umat muslim tapi di akhir lafad ada pengecualian yakni bagi yang sudah mampu.
Takhsis ada dua macam yakni yang mutasil (langsung) yakni antara lafad yang umum (amm) langsung di sambung dengan lafad yang menaksisnya. Kedua adalah takhsis munfasil (pisah) antara lafad yang dan yang di taksis berpisah (tidak langsung)
Syarat-Syarat istisna’ (lafad yang menyifati atau yang menjadi jawaban)
- Mutasil atau langsung jika tidak maka tidak shah
Contohnya ketika dalam akad nikah, yakni ketika wali nikah membacakan akad nikah dan sang pengantin adalah menjawab, sedangkan ketika di putus antara akad dan jawaban maka tidak shah nikahnya.
- Tidak sampai menghabiskan mustasna minhunya (objek dari istisna’)
Contohnya, talak tiga kecuali tiga, hutang seribu kecuali seribu
- Tidak mendahului mustasna minhu
Aplikasi dari takhsis :
- Takhsis dibatasi oleh sifat maka yang lain tidak masuk
Contohnya. Syaratnya yang menjadi calon penerima beasiswa adalah mahasiswa kelas A, maka kelas B, C dan yang lain tidak boleh menerima beasiswa.
- Takhsis dengan memberi batasan akhir
Contohnya. Dilarang mendekati istri yang sedang haid maka diperbolehkan ketika istrinya sudah suci.
- Takhsis dengan menyebut badal
Contohnya. Ketika orang tidak mampu berdiri untuk sholat maka boleh dikerjakan dengan duduk.
Macam-macam bentuk takhsis:
- Takhsis kitab dengan kitab
Janganlah kamu menikahi wanita musrik. Surat (Al baqoroh, 221) kemudian di takhsis dengan ayat : orang-orang merdeka dari ahlul kitab. (Al Maidah, 5)
Sehingga di sini ada pemaknaan boleh menikahi orang selain islam asalkan masih menjadi ahlul kitab yakni agamanya (nabi Isa)
- Takhsis kitab dengan sunah
Alloh mewasiatkan pada kamu semua bagian anak laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan (An nisa’, 11) Kemudian di tahksis dengan hadist Bukhori Muslim: Orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak bisa mewarisi orang kafir.
- Sunah dengan Kitab
Hadist Bukhori Muslim: Alloh tidak akan menerima sholat kalian kecuali dengan wudlu’. Kemudian di takhsis dengan ayat, kecuali bertayamum ( An Nisa’ 43)
- Sunah dengan Sunah
Hadist riwayat Bukhori Muslim: Dalam hasil panen yang di airi dengan hujan maka zakatnya adalah satu per sepuluh
(1/10) kemudian di takhsis dengan hadist yang lain: kecuali ketika mencapai satu nisob (94 gram emas).
- Kitab dengan kiyas
Wanita dan laki-laki yang melakukan zinah di cambuk 100x, Alloh mengkhususkan bagi wanita budak yakni separuh atas hukuman wanita merdeka. Maka ketika laki-laki budak yang melakukan zinah, apakah di samakan dengan laki-laki merdeka ataukah di samakan dengan wanita budak??? Dan hal ini di butuhkan yang namanya kiyas.
- Sunah dengan kiyas
Menunda-nunda membayar hutang bagi orang yang mampu maka halal kehormatanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan ketika yang hutang itu orang tuanya apakah juga halal kehormatanya makanya butuh yang namanya kiyas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar