Asas Yurisdiksi Ektrateritorial dalam UU Perseroan Terbatas (Pemberlakuan Asas Yurisdiksi Ekstrateritorial dalam RUPS yang diselenggarakan melalui media Telekonferensi)
Berikut
 sebagian kutipan penulis dalam karya ilmiah (tesis) penulis dengan 
judul "Aspek Legalitas RUPS melalui media telekonferensi".
Dalam cuplikan ini penulis menganalisa bahwa sah-sah saja suatu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dilakukan oleh para pemegang saham dari suatu Perseroan Terbatas (PT) berbadan hukum Indonesia dimanapun para pemegang saham itu berada melalui ketentuan yang diatur dalam pasal 77 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT).
Berikut kutipan tersebut :
"RUPS Modern
Pasal 77 UUPT :
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat;
(2) Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan;
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.
Jelas dalam Pasal 77 ayat (1) UU PT diatur pengecualian terhadap penyelenggaraan RUPS konvensional sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU PT yang mensyaratkan kehadiran secara fisik pemegang saham atau yang mewakilinya dalam satu forum rapat yang diselenggarakan ditempat yang telah ditentukan dalam undang-undang yaitu ditempat kedudukan perseroan atau ditempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama atau di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan (khusus bagi Perseroan Terbuka) atau dengan syarat-syarat tertentu dapat dilakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 77 UU PT selain mengatur cara penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, juga menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS.
Tidak seperti syarat kuorum dan syarat pengambilan keputusan yang ditentukan dalam Pasal 76 UU PT, maka dalam Pasal 77 UU PT kedua hal tersebut diserahkan pada ketentuan-ketentuan yang mengatur materi tersebut yaitu di dalam Pasal 86 ayat (1), Pasal 87 ayat (2), Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) UU PT.
Dengan demikian RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya (RUPS Modern) dapat diselenggarakan apabila dalam RUPS tersebut lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali untuk materi-materi tertentu seperti agenda rapat mengenai perubahan anggaran dasar, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan; sedangkan mengenai agenda rapat untuk untuk menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan agar perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah ¾ ( tiga per empat) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.
Dengan demikian dari segi teleologis dapat dikatakan bahwa UU PT sungguh-sungguh berusaha memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif, jaminan mana diwujudkan dengan mengadakan ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan teknologi informasi dalam pelaksanaan/ penyelenggaraan RUPS suatu perseroan.
Salah satu keuntungan dengan menggunakan teknologi informasi adalah teknologinya amat memudahkan penggunanya untuk menyebarkan infomasi secara global. Akibatnya pengguna juga mendapatkan akses informasi dunia secara mudah. Karena sifat ini, teknologi informasi sering kali disebut sebagai teknologi yang tidak mengenal wilayah (borderless).
Ketentuan Pasal 77 UU PT yang menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS sejalan dengan hakekat teknologi informasi yang tidak mengenal wilayah (borderless) dan ini membawa dampak bagi permasalahan yuridiksi keberlakuan UU PT itu sendiri yaitu apakah undang-undang ini hanya berlaku di wilayah Republik Indonesia ataukah undang-undang ini memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial.
Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam cuplikan ini penulis menganalisa bahwa sah-sah saja suatu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dilakukan oleh para pemegang saham dari suatu Perseroan Terbatas (PT) berbadan hukum Indonesia dimanapun para pemegang saham itu berada melalui ketentuan yang diatur dalam pasal 77 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT).
Berikut kutipan tersebut :
"RUPS Modern
Pasal 77 UUPT :
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat;
(2) Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan;
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.
Jelas dalam Pasal 77 ayat (1) UU PT diatur pengecualian terhadap penyelenggaraan RUPS konvensional sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU PT yang mensyaratkan kehadiran secara fisik pemegang saham atau yang mewakilinya dalam satu forum rapat yang diselenggarakan ditempat yang telah ditentukan dalam undang-undang yaitu ditempat kedudukan perseroan atau ditempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama atau di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan (khusus bagi Perseroan Terbuka) atau dengan syarat-syarat tertentu dapat dilakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 77 UU PT selain mengatur cara penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, juga menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS.
Tidak seperti syarat kuorum dan syarat pengambilan keputusan yang ditentukan dalam Pasal 76 UU PT, maka dalam Pasal 77 UU PT kedua hal tersebut diserahkan pada ketentuan-ketentuan yang mengatur materi tersebut yaitu di dalam Pasal 86 ayat (1), Pasal 87 ayat (2), Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) UU PT.
Dengan demikian RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya (RUPS Modern) dapat diselenggarakan apabila dalam RUPS tersebut lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali untuk materi-materi tertentu seperti agenda rapat mengenai perubahan anggaran dasar, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan; sedangkan mengenai agenda rapat untuk untuk menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan agar perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan, maka kuorum yang wajib dipenuhi adalah ¾ ( tiga per empat) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusannya sah apabila disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.
Dengan demikian dari segi teleologis dapat dikatakan bahwa UU PT sungguh-sungguh berusaha memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif, jaminan mana diwujudkan dengan mengadakan ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan teknologi informasi dalam pelaksanaan/ penyelenggaraan RUPS suatu perseroan.
Salah satu keuntungan dengan menggunakan teknologi informasi adalah teknologinya amat memudahkan penggunanya untuk menyebarkan infomasi secara global. Akibatnya pengguna juga mendapatkan akses informasi dunia secara mudah. Karena sifat ini, teknologi informasi sering kali disebut sebagai teknologi yang tidak mengenal wilayah (borderless).
Ketentuan Pasal 77 UU PT yang menyimpangi ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan RUPS sejalan dengan hakekat teknologi informasi yang tidak mengenal wilayah (borderless) dan ini membawa dampak bagi permasalahan yuridiksi keberlakuan UU PT itu sendiri yaitu apakah undang-undang ini hanya berlaku di wilayah Republik Indonesia ataukah undang-undang ini memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial.
Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
Pertama, subjective territoriality, yang 
menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat 
perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di 
negara lain.
Kedua, objective territoriality, yang menyatakan bahwa 
hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu 
terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang 
bersangkutan.
Ketiga, nationality yang menentukan bahwa Negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Kelima,
 protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas 
keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang
 dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban 
adalah negara atau pemerintah, dan
Keenam, asas Universality.*1 Diantara
 berbagai asas di atas asas Universality selayaknya memperoleh perhatian
 khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini 
disebut juga sebagai “universalinterest jurisdiction”. Pada mulanya asas
 ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum
 para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup 
pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya 
penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun di 
masa mendatang asas jurisdiksi universality ini mungkin dikembangkan untuk 
internet privacy, seperti computer, cracking, carding, hacking dan 
viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya 
diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan 
dalam hukum internasional.*2
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena dan physical location.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena dan physical location.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut sebagai Lex Informatica. *3
Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional, antara lain menyangkut masalah kompetensi forum yang berperan dalam menentukan kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (Hukum Perdata Internasional).
Terdapat dua prinsip kompetensi dalam Hukum Perdata Internasional :
Pertama, the principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa
 kewenangan pengadilan untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal 
tergugat.
Kedua, principle of effectiveness yang menyatakan bahwa 
kewenangan pengadilan ditentukan oleh di mana harta-benda tergugat 
berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan 
pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement enforcement).
Asas
 kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak 
dalam transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat 
dilakukan jika ada jaminan pelaksanaan putusan pengadilan asing, 
misalnya melalui konvensi internasional.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
Pertama
 The Theory of the Uploader and the Downloader. Berdasarkan teori ini, 
suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan 
downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. 
Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading 
kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara,
 dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan 
perjudian tersebut.
Kedua adalah teori The Law of the Server. 
Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik 
berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut
 teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford 
University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit 
digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing.
Ketiga The 
Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth 
space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, 
melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.
Sesuai uraian di atas, maka dapat diambil suatu sikap bahwa keberlakuan UU PT berdasarkan asas Nasionality dapat diberlakukan bagi RUPS Perseroan Terbatas yang diselenggarakan melalui telekonferensi dimana para peserta rapat tidak harus berada di wilayah Republik Indonesia; dengan kata lain UU PT memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial yaitu berlakunya ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU PT bagi penyelenggaraan RUPS yang diadakan diluar wilayah Republik Indonesia, demikian dengan pertimbangan bahwa badan hukum perseroan tersebut didirikan menurut hukum Indonesia (tanpa harus memperhatikan kewarganegaraan pribadi dari para pemegang sahamnya), maka sebagai badan hukum (rechtpersoon) perseroan terbatas adalah subyek hukum yang mandiri (persona standi in yudicio) merupakan pendukung hak dan kewajiban yang setara dengan manusia/warga negara suatu negara.
Sesuai uraian di atas, maka dapat diambil suatu sikap bahwa keberlakuan UU PT berdasarkan asas Nasionality dapat diberlakukan bagi RUPS Perseroan Terbatas yang diselenggarakan melalui telekonferensi dimana para peserta rapat tidak harus berada di wilayah Republik Indonesia; dengan kata lain UU PT memberlakukan asas yurisdiksi ektrateritorial yaitu berlakunya ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU PT bagi penyelenggaraan RUPS yang diadakan diluar wilayah Republik Indonesia, demikian dengan pertimbangan bahwa badan hukum perseroan tersebut didirikan menurut hukum Indonesia (tanpa harus memperhatikan kewarganegaraan pribadi dari para pemegang sahamnya), maka sebagai badan hukum (rechtpersoon) perseroan terbatas adalah subyek hukum yang mandiri (persona standi in yudicio) merupakan pendukung hak dan kewajiban yang setara dengan manusia/warga negara suatu negara.
( Bandingkan dengan definisi Seorang Warga Negara dari Negara Amerika Serikat : To determine if a Limited Liability Company (L.L.C.) meets the requirements of a " citizen of the United States", its structure is measured against the definition of a United States corporation or association contained in Title 49, U.S.C., 40102(a)(15), which provides as follows: “'Citizen of the United States' means (a) an individual who is a citizen of the United States, or (b) a partnership each of whose partners is an individual who is a citizen of the United States, or (c) a corporation or association organized under the laws of the United States or a State, the District of Columbia, or a territory or possession of the United States, of which the president and at least two-thirds of the board of directors and other managing officers are citizens of the United States, and in which at least 75 percent of the voting interest is owned or controlled by persons that are citizens of the United States."
Dari segi ontologis maka keberadaan Pasal 77 UU ITE adalah perwujudan atau keberadaannya merupakan reaksi terhadap perubahan sosial yang mengikuti perkembangan teknologi..."
Kesimpulan :
Berdasarkan karakteristik ruang cyber dan hakekat teknologi informasi yang tidak kenal batas ruang (borderless), maka ketentuan dalam pasal 77 UU PT dapat diterapkan dalam suatu forum Rapat dimanapun para pemegang saham suatu PT tersebut berada.
Rapat yang demikian berdasarkan asas nasionalitas tetap dapat dipertanggung jawabkan sebagai suatu Rapat Umum Pemegang Saham yang sah (tentu saja harus dipenuhi syarat-syarat lain dalam ayat 2-4 pasal 77 UU PT ).
Apabila ada pembaca yang hendak melengkapi atau bahkan mengkritisi, kami persilahkan, demi kemajuan kita bersama, terima kasih.
sumber : http://notarissby.blogspot.com/2010/02/asas-yurisdiksi-ektrateritorial-dalam.html diakses pada 8 desember 2012 pukul 12:48
1. (Ahmad M.Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, 2004;19-20)
2. (M Arsyad Sanusi, Konvergensi Hukum dan Teknologi Informasi, 2007:386).
3. (Aaron Mefford, Lex Informatica, 1997:213)
Komentar
Posting Komentar